RUU Cipta Kerja Dinilai Ancam Kedaulatan Pangan
Utama

RUU Cipta Kerja Dinilai Ancam Kedaulatan Pangan

Karena membuka lebar peluang impor pangan, menghapus sanksi pidana larangan impor saat ketersediaan pangan mencukupi, dan mempermudah alih fungsi lahan pertanian.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: Hol
Gedung DPR. Foto: Hol

Substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja terus mendapat sorotan publik karena menyasar 79 UU terdampak di berbagai sektor. Kini, giliran menyasar sektor pangan meliputi pertanian, peternakan, hortikultura yang berdampak mengubah/menghapus sejumlah UU terkait pangan.     

 

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Bina Desa, IGJ, KRKP, FIAN Indonesia, JKSP, dan JPP Nusantara mencatat Omnibus law RUU Cipta Kerja berdampak terhadap 4 UU di sektor pangan. Pertama UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan; Kedua, UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; Ketiga, UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diperbarui melalui UU No.41 Tahun 2014; Keempat, UU No.13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.

 

Koordinator Advokasi Bina Desa Loji Nurhadi menilai Pasal 66 RUU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan UU Pangan. Seperti, Pasal 1 angka 7 UU Pangan yang mengatur definisi ketersediaan pangan yakni kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor (pangan) apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.

 

Aturan ini dipertegas Pasal 14 UU Pangan yang menyebutkan sumber penyediaan pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional. Jika belum mencukupi, pangan dapat dipenuhi dengan Impor sesuai kebutuhan. Ketentuan ini memposisikan impor sebagai pilihan terakhir ketika hasil produksi dan cadangan dalam negeri tidak lagi cukup memenuhi kebutuhan.

 

Namun, RUU Cipta Kerja memposisikan impor sama kedudukannya dengan hasil produksi dalam negeri. “Ini berarti membuka kran impor pangan seluas-luasnya. Pelaku usaha bisa bebas kapan saja melakukan impor. Ini bisa mengancam kedaulatan pangan,” kata Loji dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/3/2020). Baca Juga: 12 Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Migas   

 

Loji menyoroti perubahan beberapa ketentuan dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan). RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 15 UU Perlintan yang menyebutkan pemerintah wajib mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kewajiban pengutamaan produksi pertanian dalam negeri ini dilakukan melalui pengaturan impor komoditas pertanian sesuai musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri. Untuk impor komoditas pertanian, menteri terkait harus melakukan koordinasi.

 

Dalam perubahan Pasal 15 UU Perlintan, RUU Cipta Kerja mengatur peningkatan produksi pertanian dalam negeri melalui strategi sebagaimana perlindungan petani dalam Pasal 7 ayat (2). Pasal 7 ayat (2) UU Perlintan memuat 7 strategi perlindungan petani yaitu prasarana dan sarana produksi pertanian; kepastian usaha; harga komoditas pertanian; penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa; sistem peringatan dini; penanganan dampak perubahan iklim; dan asuransi pertanian.

Tags:

Berita Terkait