Cermati Keabsahan Klausula Baku Sebelum Dibatalkan Demi Hukum
Berita

Cermati Keabsahan Klausula Baku Sebelum Dibatalkan Demi Hukum

Mulai dari praktik penggunaan model klausula baku konvensional hingga pada kontrak digital.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Advokat pemerhati isu konsumen, David ML Tobing. Foto: RES
Advokat pemerhati isu konsumen, David ML Tobing. Foto: RES

Siapa bilang pelaku usaha tak boleh menggunakan klausula baku? Secara hukum, praktik klausula baku diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan undang-undang. Namun bila terbukti melanggar, pelaku usaha harus bersiap-siap menanggung risiko ‘batal demi hukum’ klausula baku yang telah disepakati. Tidak hanya kemungkinan batal demi hukum, pelaku usaha berpotensi terancam pidana penjara.

Tak tanggung-tanggung, pelanggar prasyarat perumusan klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dapat dihukum pidana penjara paling lama 5 tahun, atau denda paling banyak Rp2 miliar. Advokat senior Perlindungan Konsumen sekaligus Partner pada firma hukum Adams & co, David Tobing menggaris bawahi. Bila ingin selamat, pelaku usaha setidaknya harus memastikan tidak adanya iktikad buruk dalam perumusan klausula baku dengan menghindari beberapa larangan yang digariskan dalam Pasal 18 UUPK.

Dalam Pasal 18 UUPK, pelaku usaha dilarang merumuskan klausula baku yang memuat beberapa hal seperti pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; penolakan pengembalian barang/uang yang sudah dibayar; mensyaratkan konsumen untuk tunduk pada aturan baru, perubahan dan lanjutan yang ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha; merumuskan kuasa pelaku usaha untuk melakukan tindakan sepihak terhadap barang angsuran konsumen; mengurangi manfaat/harta kekayaan konsumen dan mengatur perihal pembuktian konsumen atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen.

(Baca juga: Potensi Sengketa Berbasis Daring Besar, BPKN Jajaki Mekanisme ODR).

Ayat (2) Pasal 18 UUPK juga mempersyaratkan agar pencantuman klausula baku baik dari segi letak dan bentuknya tidak sulit terlihata dan dapat dibaca secara jelas serta pengungkapannya tidak sulit dimengerti. Bila tidak mematuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) ini, maka klausula baku tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

Contoh sederhananya, kata David, ada tulisan yang kerap ditemui di toko-toko berupa ‘barang yang telah dibeli tidak dapat ditukar kembali’. Kata-kata itu, secara tidak langsung sudah merujuk pada klausula baku. Mengingat ketentuan itu diatur dan dicantumkan secara sepihak oleh pemilik toko. Pengaturan terkait ketentuan ini jelas melanggar poin pada pasal 18 terkait penolakan pengembalian barang yang sudah dibayar. Artinya, klausula itu bisa batal demi hukum. “Lebih baik hal seperti itu tak perlu dicantumkan,” katanya dalam diskusi hukumonline bekerjasama dengan firma hukum Adams & Co yang bertajuk ‘Upaya Perlindungan Konsumen dalam Era Digital dan Penyelesaian Sengketa Konsumen’, di Jakarta, Kamis,(12/02).

Untuk industri jasa keuangan seperti asuransi, David mengingatkan, kendati telah melaporkan polis asuransi yang memuat klausula baku kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetap tidak ada jaminan di kemudian hari klausul tersebut tidak batal demi hukum. Menurutnya, OJK hingga kini bukanlah Lembaga yang memiliki otoritas untuk memfilter kesesuaian polis dengan persyaratan klausula baku. Jadi Pengadilan tetap bisa saja membatalkan klausula baku pada polis asuransi sekalipun telah melewati proses pelaporan di OJK.

“Kalau di Belanda, ada satu Lembaga yang memfilter itu. Jadi kalau klausula bakunya udah masuk proses filter di Lembaga itu dan dinyatakan lolos, ya udah klausul itu enggakbisa diapa-apain lagi (dibatalkan, --red),” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait