Masalah Standar Layanan Bantuan Hukum dan Kompetensi Paralegal
Fokus

Masalah Standar Layanan Bantuan Hukum dan Kompetensi Paralegal

Para pemangku kepentingan berharap ada standar layanan bantuan hukum dan kompetensi paralegal.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kompetensi paralegal. Ilustrator: BAS
Ilustrasi kompetensi paralegal. Ilustrator: BAS

Jika tidak ada aral melintang, tak lama lagi akan terbit dua peraturan teknis, dalam bentuk Peraturan Menteri Hukum dan HAM, berkaitan dengan bantuan hukum. Peraturan pertama adalah Permenkumham tentang Standar Layanan Bantuan Hukum; dan kedua, Permenkumham tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Yang terakhir disebut sebenarnya adalah perubahan atas beleid yang sudah pernah terbit, yakni Permenkumham No. 1 Tahun 2018.

 

Rancangan kedua peraturan itu sudah dikonsultasikan ke publik, setidaknya kepada ratusan pemangku kepentingan di dua kota: Semarang dan Surabaya. Tim teknis penyusunan kedua rancangan juga sudah beberapa kali mengadakan pertemuan. Dalam konsultasi publik di Surabaya, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), R. Benny Riyanto, mengatakan bantuan hukum bagi orang miskin sangat penting artinya dalam konteks membuka akses terhadap keadilan. Sebab, jumlah advokat di Indonesia dan sebarannya tidak merata di tiap daerah. Faktanya, banyak daerah kabupaten/kota yang tak memiliki jumlah advokat memadai.

 

Selain tidak merata persebarannya, kewajiban advokat memberikan bantuan hukum pro bono belum dijalankan sepenuhnya. Tidak ada mekanisme yang dapat memastikan bahwa setiap advokat sudah menjalankan kewajiban pro bono yang diamanatkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Itu sebabnya, negara hadir melalui pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Puluhan miliaran dana bantuan hukum disediakan lewat APBN, yang disalurkan melalui organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH).

 

PBH yang mendapatkan dana bantuan hukum harus menjalankan prinsip akuntabilitas, karena dana yang digunakan adalah dana negara. Advokat dan paralegal yang membantu memberikan bantuan hukum harus bersunggung-sungguh menjalankan tugas mulia membantu orang miskin. Kesungguhan dan komitmen membantu orang miskin itu pula yang dipegang sejumlah pengelola PBH yang mendapatkan akreditasi terbaik selama ini.

 

Sebagian besar PBH telah menerapkan standar layanan internal. LBH Perisai Kebenaran Purwokerto, misalnya. Ketua Umum Perkumpulan LBH Perisai Kebenaran, H. Sugeng, menjelaskan advokat dan paralegal di kantornya harus menerapkan 4 tertib, yakni tertib administratsi, tertib personalia, tertib keuangan, dan tertib inventarisasi (asset). Dengan memegang teguh tertib bekerja dan kesungguhan membela warga miskin, LBH Perisai Kebenaran terus menerus mendapatkan akreditasi A dari BPHN.

 

(Baca juga: Keren! Inilah 9 Organisasi Pemberi Bantuan Hukum dengan Akreditasi Terbaik).

 

Standar Layanan

BPHN sudah menyiapkan aturan standar layanan bantuan hukum, yang akan menjadi pedoman untuk dipergunakan sebagai tolok ukur dan acuan penilaian untuk menjamin kualitas layanan pemberian bantuan hukum. Setidaknya ada tiga lingkup yang diatur dalam standar layanan ini.

 

Pertama, hak dan kewajiban para pihak dalam layanan bantuan hukum. PBH berhak mendapatkan keterangan dan dokumen yang berkaitan dengan masalah hukum dari warga miskin yang akan diadvokasi. Sebaliknya, PBH berkewajiban memberikan layanan bantuan hukum secara sungguh-sungguh kepada warga, dalam arti tidak menelantarkan klien. Warga penerima bantuan hukum juga punya hak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasusnya; dan sebaliknya berkewajiban memberikan data dan informasi yang benar kepada advokat dan paralegal yang membantunya.

Tags:

Berita Terkait