Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19
Utama

Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19

Force majeur bukanlah keadaan yang terjadi demi kontrak, melainkan demi hukum. Sepanjang tidak diperjanjikan lain, aturan kahar dalam KUH Perdata berlaku.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani/Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Alat pemantau panas suhu tubuh digunakan untuk mengantisipasi Corona. Foto: RES
Alat pemantau panas suhu tubuh digunakan untuk mengantisipasi Corona. Foto: RES

Aktivitas korporasi baik nasional maupun global ikut menerima dampak yang sangat besar akibat merebaknya Corona Virus Disease 19 (Covid-19). Tingkat penularan yang sangat cepat, risiko kematian bagi orang dengan daya tahan tubuh lemah hingga anti-virus yang belum ditemukan membuat sejumlah negara dan pemerintahan mengambil kebijakan yang berimplikasi secara hukum.

Kebijakan lockdown atau social distancing membuat entitas bisnis terganggu. Diperkirakan banyak perusahaan atau orang yang tidak dapat menepati janjinya. Misal, pengiriman barang ke suatu negara yang sedang menerapkan lockdown. Dengan kata lain, kemungkinan besar banyak kontrak, perjanjian, transaksi bisnis atau kegiatan yang tertunda akibat penyebaran wabah Covid-19.

Dalam lingkungan bisnis, kegagalan memenuhi perjanjian alias wanprestasi acapkali dapat dibenarkan oleh hukum jika orang yang tak memenuhi prestasi dapat membuktikan ada halangan yang tak dapat dihindari. Bencana alam, misalnya. Terkait dengan wabah Covid-19, apakah secara hukum pandemik global ini dapat dijadikan alasan sebagai force majeur untuk tidak menjalankan perjanjian? Apakah harus ada penetapan bencana nasional agar kejadian Covid-19 dapat disebut force majeur atau kahar?

Praktisi yang selama ini mendalami hukum kontrak, Ricardo Simanjuntak, berpendapat force majeur merupakan suatu halangan dimana salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menghindari halangan itu walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Unsur lain yang mendukung terjadinya force majeur, pihak tersebut tidak pernah bisa memprediksi kapan terjadinya halangan, serta ia tidak memiliki contributory factor atas terjadinya halangan itu.

(Baca juga: Transaksi Digital Salah Satu Upaya Pencegahan Virus Corona).

Menurut Ricardo, untuk bisa dikategorikan force majeur, halangan itu tak harus bersifat permanen. Peristiwa yang terjadi secara temporer pun masih bisa dikategorikan force majeur. Yang penting unsur-unsur tadi terpenuhi. “Bila seluruh unsur itu menjadi satu kesatuan dan secara manusiawi dia betul-betul tidak memiliki contributory effect dalam peristiwa itu, maka di situlah force majeur berlaku,” jelasnya kepada hukumonline.

Keseluruhan unsur itu, disebut Ricardo terpenuhi dalam kasus corona. Alasannya, Pertama, orang tidak pernah tahu kapan ini akan terjadi (tidak terprediksi). Kedua, orang tidak memiliki contributory effect atas penyebaran wabah ini. Ketiga, wabah corona memang suatu halangan dimana orang tidak bisa mengesampingkannya.

Advokat Rahmat Soemadipraja berpendapat bahwa sebetulnya agak sulit secara umum menjadikan Covid-19 sebagai dasar untuk menerima argumen force majeur. Tapi hal ini dapat mudah sekali berubah dengan adanya keputusan atau kebijakan penguasa lokal, provinsi atau nasional yang isi ketentuannya dapat menghambat pelaksanaan ketentuan suatu perikatan/kontrak. “Mesti dimonitor dari jam ke jam mengenai adanya keputusan atau kebijakan penguasa yang dapat mengubah keadaan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait