Melihat Reformasi Birokrasi dari Dalam
Resensi

Melihat Reformasi Birokrasi dari Dalam

Reformasi birokrasi harus ditopang kerangka hukum. Tetapi rule based bureaucracy seharusnya sudah terlewati pada 2014. Kini seharusnya sudah menuju era dynamic governance.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Melihat Reformasi Birokrasi dari Dalam
Hukumonline

Bagi para peminat masalah-masalah pemerintahan, selalu menarik untuk membaca buku yang ditulis oleh orang dalam, atau oleh orang yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan itu. Ada yang ditulis dalam bentuk biografi, ada yang dituangkan dalam analisis dan pengalaman penulis memimpin suatu lembaga atau satuan kerja tertentu.

Buku ‘Berkelahi Melawan Korupsi’ (2016) yang ditulis Bambang Widjojanto, misalnya, mengungkapkan sejumlah fakta penting di tubuh KPK yang mungkin sulit kita ketahui tanpa membaca bukunya. Atau, pengalaman Yasonna H. Laoly sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi memimpin perubahan birokrasi di kementerian, yang ia tuangkan dalam buku ‘Birokrasi Digital’ (2019). Tentu, ada banyak buku sejenis yang bisa dibaca dan menggambarkan pengalaman penulisnya di pemerintahan atau lembaga-lembaga negara.

Buku sejenis teranyar terbit adalah ‘Memimpin Reformasi Birokrasi, Kompleksitas dan Dinamika Perubahan Birokrasi Indonesia’ yang ditulis Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (2011-2014), Eko Prasojo. Buku ini diluncurkan bertepatan dengan ulang tahun Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Kamis, 5 Maret lalu. Kini, Eko memimpin (dekan) fakultas termuda di Universitas Indonesia itu.

Seperti kitab lain, sebagian isi buku ini mengisahkan pengalaman sang penulis beserta gagasan-gagasan yang dituangkan dalam program reformasi birokrasi. Ia tak hanya bicara tentang urgensi reformasi birokrasi, tetapi juga seni memimpin, bagaimana menunjuk dan menggerakkan tim pembaruan, membangun koalisi, serta yang tak kalah penting: mengelola resistensi dan konflik dalam perubahan itu.

(Baca juga: Kado Menteri Yasonna untuk Birokrasi Indonesia).

Percayalah, ketika Anda sebagai pejabat ingin melakukan perubahan, tak mungkin semua pegawai mendukung gagasan Anda. Apalagi jika gagasan itu menggeser posisi, mengurangi sumber pendapatan, dan menyederhanakan birokrasi. Resistensi adalah hal normal dalam perubahan (hal. 98). Mungkin saja hanya 20 persen pegawai yang mendukung perubahan itu; sisanya adalah mereka yang resisten dan kelompok yang disebut penulis sebagai kelompok followers. Kalaupun Anda hanya mendapatkan 20 persen suara yang mendukung perubahan, jangan pesimis. Justru dari 20 persen itulah perubahan dimulai (hal. 55).

Hukumonline.com

Nama Eko Prasojo memang tidak lepas dari gagasan reformasi birokrasi di Indonesia. Jauh sebelum menjadi Wakil Menteri PANRB, ia telah bersama akademisi lain menyusun roadmap reformasi birokrasi. Selepas dari jabatan Wamen pun Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas itu dipercaya sebagai Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional.

Apa yang harus dilakukan ketika menghadapi problem reformasi birokrasi? Obatnya tentu tidak tunggal. Reformasi birokrasi berkelindan dengan urusan politik; apatah lagi dengan kemauan politik pemimpin nasional. Reformasi tak mungkin berjalan tanpa kemauan politik setiap pemimpin bangsa. Penulis menyebutnya dengan kalimat yang pas: ‘komitmen politik dari pimpinan puncak adalah syarat’. Political commitment merupakan suatu keniscayaan. Tidak ada perubahan tanpa adanya political commitment dari atasan. (hal. 110). Tetapi, patut juga dicatat, bahwa reformasi birokrasi tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh birokrasi. Ia butuh dukungan dari seluruh komponen masyarakat,

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait