Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata
Utama

Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata

Alasan force majeur telah berkembang dan mengalami dinamika dalam beberapa putusan hakim perkara perdata.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi keadaan memaksa dalam kasus perdata. Ilustrator: HGW
Ilustrasi keadaan memaksa dalam kasus perdata. Ilustrator: HGW

Apakah wabah penyakit seperti coronavirus disease (Covid-19) dapat dijadikan sebagai force majeur untuk tidak memenuhi perjanjian? Sejumlah praktisi dan akademisi hukum yang diwawancarai hukumonline menyatakan pihak yang tidak mampu memenuhi kewajiban perjanjian dapat menggunakan penyebaran Covid-19 sebagai alasan kahar atau force majeur. Kuncinya adalah pihak dimaksud mampu memberikan alasan bahwa kegagalan memenuhi perjanjian bukan karena dirinya, melainkan karena sesuatu yang tak dapat diprediksi, dan tak dapat dihindari.

Seorang debitor yang digugat di pengadilan karena melalaikan perjanjian atau kewajiban dapat mengajukan pembelaan adanya force majeur, yaitu keadaan-keadaan yang memaksa debitor tidak dapat menjalankan perjanjian. Menurut Subekti, dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, maksud pembelaan diri menggunakan alasan force majeur adalah agar ia tidak dipersalahkan atas tidak dipenuhinya perjanjian.

Suatu keadaan dapat disebut keadaan memaksa jika keadaan itu di luar kekuasaan debitor, dan tidak dapat diketahui pada saat perjanjian dibuat. Dalam praktik pengadilan, argumentasi force majeur itu sudah sering digunakan debitor ketika bersengketa dengan kreditor. Putusan-putusan Mahkamah Agung mengenai force majeur penting disampaikan mengingat terjadinya penyebaran wabah corona dalam skala yang luas. Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, malah sudah menetapkannya sebagai pandemik global.

(Baca juga: Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19).

Putusan No. 587PK/Pdt/2010 (banjir)

Penggugat dan Tergugat mempunyai hubungan hukum berupa pembelian batubara. Majelis hakim kasasi telah membatalkan putusan PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta, dan menyatakan bahwa tergugat melakukan wanprestasi. Majelis hakim kasasi menyatakan hujan yang terus menerus bukanlah force majeur. Padahal tergugat tidak memenuhi kewajiban pengiriman batubara karena hujan menyebabkan banjir dan jembatan penghubung ke daerah pengiriman rusak. Alasan itu pula yang dijadikan tergugat asal mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).

Majelis hakim PK (Harifin A Tumpa, Muchsin, dan I Made Tara) menyatakan alasan-alasan yang disampaikan pemohon PK (tergugat) tidak beralasan karena  tergugat mengakui keterlambatan pengiriman batubara; hanya sekali mengirim ke Filipina, dan tidak mengirim sama sekali ke Thailand. Adapun tentang argumentasi force majeur akibat banjir, majelis PK berpendapat: “Bahwa alasan ada banjir yang dikategorikan sebagai force majeur tidak dapat dibenarkan karena judex juris telah mempertimbangkan adanya banjir tersebut bukan sebagai force majeur; Bahwa perbedaan persepsi mengenai keadaan banjir termasuk force majeur atau tidak, bukan merupakan alasan untuk permohonan peninjauan kembali”.

Putusan No. 3087K/Pdt/2001 (krisis moneter)

Seorang warga Jakarta Utara telah menggugat satu perusahaan ke pengadilan gara-gara hubungan hukum perjanjian pengikatan jual beli rumah susun. Penggugat sudah membayar lunas kewajibannya, tetapi tergugat tak kunjung menyerahkan satuan rumah susun yang dibeli. Dalam persidangan, tergugat berdalih tidak dapat melanjutkan kewajiban karena terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia.

Dalam mengajukan memori kasasi, pemohon kasasi (tergugat asal) mengajukan argumentasi tentang force majeur, sebagaimana terungkap dalam penggalan berikut. “Telah berkali-kali ditegaskan dalam jawaban-jawaban Tergugat/Pemohon Kasasi bahwa krisis moneter adalah merupakan keadaan yang overmacht yang tentunya dapat dikatakan force majeure, karena apapun alasannya, krisis moneter yang terjadi sampai saat ini adalah suatu keadaan yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dihindari oleh siapapun setiap warga Negara Indonesia. Krisis Moneter seharusnya menjadi pertimbangan yang serius dan utama oleh Hakim Tingkat Pertama dan apabila tidak betul-betul dihayati mengenai pengertian keadaan ini, maka akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak yang terlanjur dikalahkan dalam suatu perkara, padahal krisis moneter bukan saja memporak-porandakan perekonomian tetapi telah dirasakan imbasnya oleh seluruh pengusaha di negara yang kita cintai ini”. Ini memori kasasi nomor 2 yang diajukan tergugat.

Tags:

Berita Terkait