Jalan Terjal Kasus Semanggi Menuju Pengadilan HAM Berat
Kolom

Jalan Terjal Kasus Semanggi Menuju Pengadilan HAM Berat

Tak ada kesamaan cara pandang antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung dalam menilai hasil penyelidikan KKP HAM. Perlu mendudukkan kedua pihak dalam satu forum di DPR untuk mencari solusi, bukan politisasi.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa

Asap hitam mengepul ke angkasa. Suasana ibu kota, hari itu mencekam. Stabilitas keamanan kota Jakarta pada 11 hingga 13 November 1998, kacau balau. Kerusuhan berujung penjarahan toko dan tempat perbelanjaan hingga pembakaran tak terelakan. Ibu kota Jakarta dipenuhi masyarakat dan mahasiswa turun ke jalan, seraya menanti peralihan rezim pemerintahan Orde Baru ke Era Reformasi.

 

Insiden itu, menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia, dikenal dengan peristiwa Trisakti, Semanggi I. Setidaknya tercatat 17 warga sipil tewas. Sedangkan peristiwa Semanggi II terjadi pada 24 September 1999. Tercatat, 12 orang tewas serta 217 orang luka-luka. Sayangnya, pengusutan hingga penyelesaian kasus tersebut seolah belum menemui titik temu antar pihak terkait.

 

Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sedianya telah membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP)  HAM Berat Trisakti Semanggi I dan II, 30 Juli 2001 silam. Investigasi pun berjalan. Tepat 21 Maret 2002, KPP HAM Trisakti menyimpulkan sebanyak 50 anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polri diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM berat di kedua peristiwa tersebut.

 

Sayangnya, penyelesaian kedua kasus pelanggaran HAM berat itu tak kunjung rampung sepanjang dua dekade. Lagi-lagi, pergantian rezim pemerintahan tak juga membuat penanganan kasus tersebut bergerak signifikan. Masalahnya, hasil penyelidikan KPP HAM belum juga dapat ditindaklanjuti ke tingkat penyidikan.

 

Selain itu, pengadilan HAM adhoc tak jua dibentuk.  Sejumlah pertanyaan pun belum terjawab secara gamblang ke publik. Lantas, hingga kapan keluarga korban menanti kepastian penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat peristiwa Semanggi I dan II berujung?

 

Kasus pelanggaran hak berat sejatinya peradilannya pada pengadilan HAM berat. Merujuk UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, setidaknya pemeriksaan terhadap perkara pelanggaran HAM berat, dikenal 2 (dua) macam lembaga peradilan. Pertama,  pengadilan HAM yang bersifat permanen. Kedua, pengadilan HAM ad hoc.

 

Nah pengadilan HAM bersifat permanen memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili setiap perkara pelanggaran HAM berat. Khususnya, peristiwa yang terjadi pasca  pemberlakuan/pengesahan UU 26/2000. Tepatnya, setelah 23 November 2000. Lantas pengadilan HAM adhoc, memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili kasus pelanggaran HAM berat, sebelum dikriminalisasikannya pelanggaran HAM atau sebelum adanya UU 26/2000.

Tags:

Berita Terkait