Melek Omnibus Law III: Mengurai Perbedaan PHK
Utama

Melek Omnibus Law III: Mengurai Perbedaan PHK

Pengaturan PHK dinilai tak berubah signifikan dalam RUU Cipta Kerja. Sisi lain, RUU Cipta Kerja dinilai posisi tawar pekerja/buruh semakin rendah dan pengusaha semakin mudah melakukan PHK karena lebih mengutamakan kesepakatan para pihak, bukan penetapan PHI.

Oleh:
Adi Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Klaster ketenagakerjaan, salah satu dari 11 klaster dalam RUU Cipta Kerja yang terus mendapat sorotan publik setelah naskah akademik dan drafnya diserahkan ke pimpinan DPR pada 12 Februari 2020 lalu. Banyak kalangan mengkritik substansi RUU Cipta Kerja, terutama dari kalangan serikat buruh.

 

Perubahan atau penghapusan sejumlah pasal dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini dinilai merugikan buruh dan lebih menguntungkan pemodal/pengusaha. Salah satunya, terkait pengaturan mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK). Baca Juga: Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT Outsurcing

 

Mekanisme PHK diatur Bab XII Pasal 150-172 UU Ketenagakerjaan. Secara substansi Pasal 150 UU Ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja tidak berbeda. Ketentuan PHK ini berlaku di badan usaha baik berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, persekutuan, atau badan hukum baik swasta atau milik negara, maupun usaha sosial dan usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah/imbalan dalam bentuk lain.

 

Namun, pemangkasan prosedur/mekanisme PHK dalam RUU Cipta Kerja salah satunya dapat dilihat dalam perubahan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan PHK dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Jika kesepakatan tidak tercapai, penyelesaian PHK melalui prosedur yang diatur UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).   

 

RUU Cipta Kerja menyisipkan pasal baru diantara Pasal 151 dan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan yakni Pasal 151A. Pasal 151A RUU Cipta Kerja ini memuat beberapa kondisi dimana tidak perlu kesepakatan jika perusahan ingin melakukan PHK. Pertama, pekerja/buruh masih dalam masa percobaan. Kedua, pekerja melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga berturut-turut.

 

Ketiga, pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Keempat, pekerja dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Kelima, pekerja mencapai usia pensiun sesuai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Keenam, pekerja/buruh meninggal dunia. Ketujuh, perusahaan tutup karena keadaan memaksa (force majeur). Terakhir, perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.           

 

Berbeda dengan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan. Prinsipnya, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Jika upaya telah dilakukan PHK tidak dapat dihindari, PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja bila tidak menjadi anggota serikat pekerja. Jika hasil perundingan itu tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha dapat melakukan PHK setelah memperoleh penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (pengadilan hubungan industrial/PHI).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait