DPP KAI Kecam Oknum Anggota Kepolisian Resor Buleleng, Bali atas Penangkapan Advokat
Berita

DPP KAI Kecam Oknum Anggota Kepolisian Resor Buleleng, Bali atas Penangkapan Advokat

DPP KAI mengutuk dan mengecam keras oknum anggota kepolisian di Kepolisian Resor Buleleng Bali yang secara sadar telah memperlakukan advokat dengan sangat arogan, brutal, dan tidak manusiawi seperti penangkapan, penetapan status tersangka, penahanan, serta pengikatan tangan dan kaki dengan rantai besi.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Wakil Presiden Bidang Organisasi dan Keanggotaan, Adv. Heru S. Notonegoro, S.H., M.H., CIL. Foto: istimewa.
Wakil Presiden Bidang Organisasi dan Keanggotaan, Adv. Heru S. Notonegoro, S.H., M.H., CIL. Foto: istimewa.

Alih-alih berdasarkan kekuasaan, Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Oleh karena itu, Indonesia memiliki pranata-pranata hukum yang mutlak dijalankan oleh seluruh aparatur penyelenggara negara, termasuk dan tanpa kecuali—Kepolisian Republik Indonesia. Hal ini juga berlaku pada Kepolisian RI yang sedang melakukan proses pemeriksaan perkara pidana (penyidikan) terhadap Adv. I Gusti Adi Kusuma Jaya, S.H.

 

Sebagai organ negara yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI) menilai kepolisian RI memiliki beragam tugas. Tidak hanya yang berkaitan dengan keamanan atau ketertiban masyarakat, Kepolisian RI juga sudah seharusnya menegakkan hukum, menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum, menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat,  serta melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat. Selain itu, Kepolisian RI juga diberikan tugas, tanggung jawab, dan wewenang oleh UU untuk menerima laporan dan/atau pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat serta melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai hukuma cara dan peraturan perundang-undangan lainnya, dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hukum yang berlaku.

 

Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh oknum aparat Kepolisian RI di Kepolisian Resor Buleleng. Dalam Surat Pernyataan Sikap atas Perlakuan Oknum Kepolisian Republik Indonesia di Kepolisian Resor Buleleng, DPP KAI bahkan menyebut perilaku oknum tersebut ‘sangat brutal’ dan jauh dari manusiawi. Pada tanggal 27 Maret 2020 sendiri, telah terjadi penangkapan, penahanan, dan pengikatan kaki dan tangan dengan rantai besi terhadap terhadap Adv. I Gusti Adi Kusuma Jaya, S.H.   

 

(Baca: Soal Penangkapan Advokat di Bali, Ini Kronologis Polisi)

 

Harus Mengikuti Asas-asas Hukum Acara Pidana

Dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Bidang Organisasi dan Keanggotaan, Adv. Heru S. Notonegoro, S.H., M.H., CIL., terdapat beberapa poin yang menjadi fokus DPP KAI terhadap penanganan dan prosedur hukum yang dilalui Adv. I Gusti Adi Kusuma Jaya, S.H. Poin pertama, yakni terkait Asas-asas Hukum Acara Pidana yang tidak boleh diabaikan sebagai landasan hukum. Ini mencakup (1) Asas Perlakuan yang Sama di Depan Hukum (KUHAP butir 3a) dan (2) Asas Praduga Tak Bersalah (KUHAP butir 3c). Adapun Asas Praduga Tak Bersalah mengharuskan siapa pun wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek bukan objek pemeriksaan. Oleh karena itu, tersangka/terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat.

 

Selain sebagai warga negara, Adv. I Gusti Adi Kusuma Jaya, S.H. adalah advokat yang menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat—ia juga merupakan penegak hukum. Mulanya, ia sedang mengalami musibah, yakni orang tuanya meninggal dunia. Sebagai pemeluk agama Hindu yang taat sekaligus sebagai baktinya yang terakhir, ia berusaha melaksanaan serangkaian aktivitas keagamaannya, yaitu mempersiapkan Ngaben bagi orang tuanya yang wafat. Untuk melaksanakan rangkaian kegiatan agamanya tersebut, ia harus keluar rumah dan membeli barang-barang untuk proses Ngaben.

 

Saat keluar rumah dan dalam perjalanan itulah ia dihalangi karena jalannya ditutup oleh “petugas” dengan alasan lockdown untuk mencegah makin meluasnya covid-19. Karena ia diberhentikan dan dihalangi di tengah jalan, sebagai seorang advokat maka ia mempersoalkan dasar hukum penyetopan dan penghalangan tersebut. Rupanya, dasar hukum yang dijadikan alasan untuk penyetopan jalan tidak jelas, bahkan tidak ada. Sangat wajar dan beralasan hukum jika saat itu, ia sangat kecewa. Sebab, di satu sisi ia juga sedang mencari kebutuhan untuk menjalankan ritual keagamaannya—yang dijamin oleh UUD 1945 (Vide Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 29).

 

Kekecewaan tersebut kemudian ia ekspresikan melalui media sosial Facebook, dan menjadikannya ditangkap, mendapatkan perlakuan yang ‘sangat brutal’, dan dijadikan tersangka karena telah melanggar Pasal 28 ayat (2) jo pasal 45 A ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 207 KUHP. Padahal, kebebasan atau kemerdekaan berpendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Selain itu, kebebasan berekspresi seorang Advokat juga dijamin dalam Basic Principles on the Role of Lawyers yang telah diadopsi oleh The Eight United Nations Congress On The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (Havana, Cuba, 27 Agustus-7 September 1990).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait