Belum lama ini, Presiden mengeluarkan (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Salah dasar keluarnya Perppu ini memberi fondasi bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan. Diantaranya, mengalokasikan belanja negara untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, pemulihan perekonomian termasuk dunia usaha, dan masyarakat terdampak.
“Pemerintah memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun. Total anggaran ini dialokasikan Rp75 triliun belanja bidang kesehatan; Rp110 triliun perlindungan sosial; Rp70,1 triliun insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat; dan Rp150 triliun pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah (UMKM),” kata Presiden Joko Widodo sebagaimana dikutip laman setkab.go.id, Selasa (31/3/2020).
Namun demikian, Perppu No.1 Tahun 2020 tak luput dari kiritk dari elemen masyarakat terutama substansi yang termuat dalam Pasal 27. Selengkapnya Pasal 27 Perrpu No.1 Tahun 2020:
|
Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto menilai Pasal 27 Perppu No.1 Tahun 2020 merupakan bentuk impunitas. Dia menilai substansi Pasal 27 itu sangat berbahaya jika nanti diterapkan karena berpotensi disalahgunakan karena menghilangkan pertanggungjawaban hukum si pelakunya.
“Para pengambil kebijakan seharusnya tidak boleh lari dari tanggung jawab ketika pelaksanaan Perppu itu bermasalah secara hukum,” kata Ardi Manto ketika dihubungi Hukumonline, Kamis (2/4/2020). Baca Juga: Presiden Terbitkan Perppu Stabilitas Sistem Keuangan, Begini Isinya!