Darurat Covid-19! Ayo Kenali Ragam Status Darurat dalam Hukum Indonesia Serta Dampaknya
Utama

Darurat Covid-19! Ayo Kenali Ragam Status Darurat dalam Hukum Indonesia Serta Dampaknya

Saat ini tidak semua status darurat termasuk dalam rezim hukum darurat.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penyemprotan sebelum pejabat masuk ke gedung DPR/MPR pada saat PSBB. Foto: RES
Ilustrasi penyemprotan sebelum pejabat masuk ke gedung DPR/MPR pada saat PSBB. Foto: RES

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) soal status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat wabah Covid-19. Berbagai langkah penanganan Covid-19 kini memiliki landasan hukum yang jelas sesuai ketentuan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Karantina Kesehatan).

Namun penting diketahui ternyata ada beragam status darurat lain dalam hukum Indonesia. Mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) berusia 50 tahun yang masih berlaku hingga Undang-undang yang disahkan di era Presiden Jokowi. “Kondisi darurat ini mengacu pada dua pasal dalam UUD 1945 yaitu pasal 12 dan pasal 22,” kata Fitra Arsil, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Kedua pasal itu memiliki kata kunci ‘keadaan bahaya’ dan ‘kegentingan yang memaksa’.

(Baca juga: Masalah Hukum Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19).

Pasal 12 UUD 1945 disebut Fitra sebagai pintu masuk mengaktifkan kekuasaan luar biasa oleh Presiden. “Kalau diaktifkan maka berlaku hukum darurat. Penguasa darurat bisa yang menyimpangi hukum yang normal dan tindakannya tidak bisa diuji oleh pengadilan,” katanya.

Ia merujuk Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto No.9 Tahun 2004 juncto No.51 Tahun 2009 (UU PTUN). Disebutkan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: a.dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b.dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Fitra menyebut ‘keadaan bahaya’ dalam pasal 12 UUD 1945 tidak identik dengan ‘kegentingan yang memaksa’ dalam pasal 22. “Nah hal ihwal ‘kegentingan yang memaksa’ ini tidak selalu mengenai ‘keadaan bahaya’. Memang bisa karena ada keadaan bahaya menjadi dasar ‘kegentingan yang memaksa’,” ujarnya.

Dalam konteks ini sudah ada putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori ‘kegentingan yang memaksa’. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.

Mahkamah Konstitusi telah membedakan antara ‘kegentingan yang memaksa’ dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan ‘keadaan bahaya’ dalam  Pasal 12 UUD 1945. Hanya saja belum menafsirkan batasan materi muatan apa yang dapat diatur akibat ‘kegentingan yang memaksa’.

Tags:

Berita Terkait