Simak Yuk! Dosen-Dosen Hukum Tata Negara Bicara tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
Fokus

Simak Yuk! Dosen-Dosen Hukum Tata Negara Bicara tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar

Kriteria yang jelas dan detil akan membantu daerah mengajukan permohonan penetapan PSBB.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
(Dari kini ke kanan: Bayu Dwi Anggono, Agus Riewanto, Qurrota Ayuni, Charles Simabura, dan Herlambang P. Wiratraman. Kolase foto: BAS
(Dari kini ke kanan: Bayu Dwi Anggono, Agus Riewanto, Qurrota Ayuni, Charles Simabura, dan Herlambang P. Wiratraman. Kolase foto: BAS

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terkait percepatan penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 untuk mencegah penyebarannya.  PSBB dilakukan selama masa inkubasi terpanjang, yaitu 14 hari. Jika masih ada bukti penyebaran berupa adanya kasus baru, dapat diperpanjang dalam masa 14 hari sejak ditemukannya kasus terakhir.

Peraturan Pemerintah tentang PSBB hanya salah satu dari beberapa regulasi yang telah diterbitkan Pemerintah dalam rangka pencegahan virus corona. Faktanya ada beragam jenis aturan kebijakan yang diterbitkan mulai dari pemerintah pusat hingga ke daerah. Semua peraturan dan aturan kebijakan yang diterbitkan mengatur hal-hal umum dan khusus yang perlu ditempuh untuk mencegah penyebaran Covid-19. Dari semua peraturan itu, PP No. 21 Tahun 2020 sangat penting artinya sebagai dasar hukum pembatasan mobilitas dan ruang gerak anggota masyarakat.

(Baca juga: Darurat Covid-19! Ayo Kenali Ragam Status Darurat dalam Hukum Indonesia Serta Dampaknya).

Hukumonline telah meminta pendapat lima dosen Hukum Tata Negara dari kampus berbeda berkaitan dengan hal ini. Pada dasarnya kelima akademisi yang diwawancarai menyetujui terbitnya PP PSBB karena diharapkan dapat mencegah penyebaran Covid-19. Namun demikian para akademisi ini punya pandangan kritis atas beberapa bagian.

Qurrata Ayuni, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa pada prinsipnya pembatasan Kebebasan (HAM) orang bisa dilakukan dengan Undang-Undang. Dalam hal ini, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan telah memberikan pijakan mengenai jenis karantina kesehatan seperti PSBB dan karantina wilayah.

Ayu, begitu Qurrata Ayuni biasa disapa, tidak mempersoalkan aturan yang mengharuskan pemerintah daerah meminta izin kepada pemerintah pusat (Kementerian Kesehatan) terlebih dahulu sebelum menetapkan PSBB. Pertanyaan dari sisi hukum tata negara antara lain adalah: apakah dimungkinkan pemerintah pusat menolak permohonan penetapan PSBB? Jika ditolak, bagaimana konsekuensinya? Bagaimana pula jika daerah sudah menetapkan pembatasan lebih dahulu tanpa izin, semisal yang dilakukan pemerintah kota Tegal dan Papua?

“Jika ada wilayah daerah yang minta PSBB lalu tidak dikasih oleh pemerintah pusat, namun tetap menyelenggarakan PSBB atau karantina tidak bisa diberikan sanksi karena sejauh ini tidak diatur sanksinya. Nah implikasi yang lebih menarik adalah bahwa sebenarnya PSBB sudah banyak dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia sebelum ada PP-nya,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait