Covid-19: Regulasi Setengah Hati
Kolom

Covid-19: Regulasi Setengah Hati

​​​​​​​Perujukan kepada UU Wabah Penyakit Menular dan UU Penanggulangan Bencana hanya membuat pengaturan penanggulangan penyebaran Covid-19 simpang siur.

Bacaan 2 Menit
Gunawan Widjaja. Foto: Istimewa
Gunawan Widjaja. Foto: Istimewa

Membaca judul tulisan ini, tentunya akan menimbulkan berbagai prasangka, terutama bagi mereka, yang tergabung dalam profesi kesehatan, yang telah berupaya untuk melaksanakan kegiatan kuratif dan preventif penyebaran pandemi Covid-19. Namun demikian upaya yang baik tetap harus didukung dengan kebijakan dan regulasi yang tepat dan efektif.

 

Tulisan ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya Pemerintah tidak paham dan mengerti bagaimana melakukan upaya “pencegahan” penyebaran pandemi Covid-19 melalui pembuatan regulasi yang tepat dan efektif. Tampak jelas bahwa regulasi yang dikeluarkan cenderung merupakan reaksi terhadap pro dan kontra “lock-down” yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir ini, setelah berbagai negara di dunia ini “dinyatakan” ramai-ramai melakukan “lock-down” secara serentak.

 

Gonjang-ganjing lock-down tersebut ternyata bermuara dengan dikeluarkannya tiga peraturan yang terkait dengan pandemi COVID-19 pada tanggal 31 Maret 2020, yang diharapkan dapat meredakan issue “lock-down.” Ketiga peraturan tersebut adalah Keppres Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PP PSBB), dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/ atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/ atau Stabilitas Sistem Keuangan.

 

Dari ketiga peraturan yang dikeluarkan tersebut, PP PSBB adalah peraturan yang memerlukan pengaturan lebih lanjut. Bahwa ketentuan tersebut memerlukan tindak lanjut dapat dilihat dari serangkaian pasal dalam PP PSBB tersebut, mulai dari ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 PP PSBB. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa Menteri Kesehatan adalah pihak yang menyetujui status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Usulan tersebut dapat disampaikan kan Pemerintah Daerah dan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

 

Ketentuan tersebut hanya penegasan kembali dari ketentuan yang diatur dalam ketentuan Pasal 49 ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Karantina Kesehatan). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar, dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dengan demikian berarti tidak pernah pernyataan Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

 

Sebagai pelaksanaan dari UU Karantina Kesehatan dan PP PSBB dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Permenkes PSBB). Dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Permenkes PSBB, dapat diketahui bahwa Menteri Kesehatan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di suatu wilayah berdasarkan permohonan gubernur/bupati/walikota.

 

Ketentuan Pasal 4 Permenkes PSBB mewajibkan Gubernur/bupati/walikota dalam mengajukan permohonan Pembatasan Sosial Berskala Besar kepada Menteri harus melengkapinya dengan data: a. peningkatan jumlah kasus menurut waktu disertai dengan kurva epidemiologi; b. penyebaran kasus menurut waktu; disertai dengan peta penyebaran menurut waktu dan c. kejadian transmisi lokal disertai dengan hasil penyelidikan epidemiologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga; serta informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait