Perppu Stabilitas Sistem Keuangan Dinilai Overload
Berita

Perppu Stabilitas Sistem Keuangan Dinilai Overload

Lantaran tak fokus membahas soal Covid-19. Soal ancaman krisis dan stabilitas kegentingan nasional tidak pas masuk ke dalam Perppu Stabilitas Sistem Keuangan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk menangani Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu ini lahir sebagai reaksi dari pemerintah untuk menangani penyebaran virus Corona (Covid-19) yang mulai mengkhawatirkan di Indonesia.

 

Selain mengatur tentang perubahan APBN guna pembiayaan pencegahan Corona, Perppu 1/2020 juga mengatur tentang situasi ekonomi Indonesia di tengah badai wabah Corona. Misalnya saja soal perpajakan yang sebelumnya diatur di RUU Omnibus Law Perpajakan, defisit APBN hingga tahun 2022, dan lain sebagainya.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa langkah-langkah itu diatur dalam Perppu 1/2020 sebagai upaya pencegahan (preventif) jika virus Corona memperburuk situasi ekonomi Indonesia melebihi jangka waktu enam bulan.

 

Namun rupanya beberapa pihak menilai Perppu 1/2020 tersebut overload karena mengatur sesuatu yang seharusnya belum layak untuk dikategorikan ke dalam situasi ‘kegentingan yang memaksa’ sesuai Pasal 22 Undang_undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal tersebut berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”

 

Menurut Ahli Hukum Tata Negara Ahmad Redi, terdapat tiga hal yang diatur dalam Perppu 1/2020. Pertama mengenai penanganan virus Corona, kedua dalam konteks keuangan negara dan ekonomi, dan ketiga menyoal stabilitas sistem keuangan. Jika melihat tiga sektor ini, Ahmad Redi menilai bahwa hanya persoalan virus Corona yang cocok dikategorikan sebagai ‘kegentingan yang memaksa’ dan membutuhkan penerbitan Perppu.

 

“Stabilitas keuangan ini tidak ada soal kegentingan, yang memenuhi indikator Pasal 22 hanya Corona, kedua ancaman krisis dan stabilitas kegentingan nasional itu tidak cocok. Jangan-jangan ada penumpang gelap yang kemudian dua sektor ini diikutsertakan ke dalam Perppu, termasuk dengan omnibus law perpajakan di masukkan ke dalam perppu. Hanya mengenai corona akrobasi dari Presiden yang kemudian memenuhi kegentingan memaksa dan ancaman krisis tidak memenuhi,” katanya dalam sebuah diskusi secara streaming di Jakarta, sabtu (4/4).

 

Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menjadi rujukan untuk menentukan apakah negara dalam situasi ‘kegentingan yang memaksa’ atau tidak. Putusan tersebut, lanjutnya, mengatur tiga indikator kunci ‘kegentinan yang memaksa’ sehingga Presiden berhak untuk mengeluarkan Perppu.

Tags:

Berita Terkait