Surat Telegram Kapolri Dinilai Langgar Hak Kebebasan Berpendapat
Utama

Surat Telegram Kapolri Dinilai Langgar Hak Kebebasan Berpendapat

Kapolri diminta segera merevisi dan menghapus peraturan yang mengancam kebebasan berekspresi, khususnya penghinaan presiden dan pejabat. Komnas HAM mengusulkan pihak yang melanggar terkait penanganan Covid-19, sanksinya bisa denda dan kerja sosial, bukan pidana.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Berbagai instansi telah menindaklanjuti sejumlah regulasi terkait percepatan penanganan coronavirus disease (Covid-19) yang dikeluarkan pemerintah. Salah satunya, lembaga kepolisian. Kapolri telah menerbitkan beberapa Surat Telegram antara lain bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tertanggal 4 April 2020.

 

Surat Telegram itu ditujukan kepada Kabareskrim dan Kapolda itu mengatur penanganan perkara dan pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Covid-19 dalam pelaksanaan tugas fungsi reskrim terkait perkembangan situasi serta opini di ruang siber dan penegakan hukum tindak pidana siber.

 

Dalam Surat Telegram itu ada 5 potensi pelanggaran atau kejahatan yang dapat terjadi di ruang siber. Pertama, ketahanan akses data internet selama masa darurat. Kedua, penyebaran hoax terkait Covid-19 dan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah Covid-19 yang bisa dijerat Pasal 14 dan/atau Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

Ketiga, pasal itu mengatur penghinaan kepada penguasa/presiden dan pejabat pemerintah dan pidana penjara satu sampai tiga tahun sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP. Keempat, praktek penipuan penjualan online alat-alat kesehatan, masker, alat perlindungan diri, antiseptik, obat-obatan, dan disinfektan sebagaimana dimaksud Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Kelima, kejahatan orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan dan/atau menghalangi seperti Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

 

Surat Telegram ini juga merinci 7 tindakan yang bisa diambil, salah satunya menegakan hukum secara tegas. “Ekspose setiap hasil ungkap guna beri efek deteren terhadap pelaku lainnya,” begitu kutipan Surat Telegram Kapolri yang ditandatangani Kabareskrim, Komjen (Pol) Listyo Sigit Prabowo.

 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai Surat Telegram Kapolri itu berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan kepolisian dan penegak hukum untuk bersikap represif. Dalam situasi darurat kesehatan saat ini, Usman menegaskan perlindungan untuk rakyat harus diutamakan.

 

Atas nama penghinaan Presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi memicu pelanggaran kemerdekaan berpendapat yang dijamin konstitusi, yang juga dijamin oleh Peraturan Internal Kapolri sebelumnya. Amnesty mendesak pihak berwenang untuk menarik surat telegram tersebut,” kata Usman dalam keterangannya di Jakarta, Senin (6/4/2020). Baca Juga: Terlalu Birokrasi, Permenkes PSBB Disarankan untuk Direvisi

Tags:

Berita Terkait