Beda e-Proxy dengan RUPS Online dalam Hukum Perseroan
Utama

Beda e-Proxy dengan RUPS Online dalam Hukum Perseroan

Sistem e-proxy berbeda dengan e-RUPS menurut Pasal 77 UU PT. Dapat dimanfaatkan saat ada larangan berkumpul.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi RUPS secara elektronik. Ilustrator: HGW
Ilustrasi RUPS secara elektronik. Ilustrator: HGW

Penetapan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta oleh Menteri Kesehatan, semakin mempertegas larangan masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan orang banyak. Pembatasan itu berdampak pada penyelenggaraan rapat pemegang saham perseroan. Bayangkan, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), apalagi perseroan terbatas yang bersifat terbuka (PT Tbk) dapat dihadiri ratusan pemegang saham.

Mengantisipasi larangan berkumpul dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Otoritas Jasa Keuangan merestujui RUPS perseroan terbuka dilaksanakan melalui mekanisme yang disebut e-proxy. Cuma, dasar hukum penyelenggaraan e-proxy hingga kini masih digodok Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika merujuk pada Pasal 77 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (UU PT), ada landasan hukum pelaksanaan RUPS secara daring atau online. Artinya, penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan sarana elektronik dimungkinkan oleh hukum.

Pertanyaannya, apakah penyelenggaraan RUPS melalui sistem e-proxy ini sama artinya dengan penyelenggaraan RUPS online via teleconference atau video conference sebagaimana dimaksud UU PT? Jika ditilik ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU PT, e-RUPS yang dimaksud UU PT, dijabarkan dalam tiga bentuk, yaknimenggunakan media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lain. Syarat formil yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan e-RUPS ini, yakni seluruh peserta RUPS harus ‘memungkinkan’ dapat melihat dan mendengar secara langsung serta dapat berpartisipasi langsung dalam rapat.

(Baca juga: Melihat Sistem e-Proxy di RUPS Emiten Pasar Modal).

Dalam bukunya, Hukum Perseroan Terbatas, M. Yahya Harahap berpandangan kata ‘memungkinkan’ dalam Pasal 77 UU PT bersifat imperatif, artinya tidak dapat dikesampingkan atau dilanggar. Dengan begitu, kuorum kehadiran peserta harus terpenuhi. Adapun besaran kuorum kehadiran dan pengambilan keputusan dalam RUPS online ini, tak ada bedanya dengan RUPS biasa (bukan online), yakni sama-sama merujuk pada Pasal 86, Pasal 88 dan Pasal 89 UU PT. Perbedaan antar jenis RUPS biasa dan online, dapat ditemui dalam ketentuan soal pembuatan risalah rapat.

Penandatanganan risalah RUPS biasa, hanya wajib dilakukan oleh ketua rapat dan paling sedikit satu (1) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS (Pasal 90 ayat 1). Sementara RUPS online, berdasarkan pasal 77 ayat (4) UU PT mengharuskan untuk ‘disetujui’ dan ‘ditandatangani’ oleh semua peserta RUPS. Implementasinya, penjelasan Pasal 77 ayat (4) memperbolehkan persetujuan dan penandatanganan risalah rapat itu dilakukan secara baik online maupun secara fisik.

Melihat ketentuan UU PT soal RUPS online itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem e-proxy tentu berbeda dengan e-RUPS menurut UU PT. Partner pada firma hukum Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP Law Firm), Iqbal Darmawan menjelaskan konteks e-RUPS dalam UU PT mempersyaratkan kehadiran pemegang saham atau kuasanya dalam RUPS, walaupun pemegang saham tidak sedang berada di lokasi penyelenggaraan RUPS. Sementara e-proxy, poin pentingnya ada pada cara ‘pemberian kuasa’ ke pihak lain melalui sistem elektronik. “E-Proxy merupakan bentuk lain dari pemberian kuasa yang selama ini kita kenal,” jelasnya.

Biasanya, pemberian kuasa oleh pemegang saham dilakukan secara tertulis dan dengan tanda tangan basah dan surat kuasa akan dikirimkan secara fisik. Prosedur ini disimplifikasi melalui e-proxy, dimana cukup diserahkan secara elektronik kepada penerima kuasa melalui sistem yang dikembangkan KSEI, misalnya. Pihak yang ditunjuk sebagai penerima kuasa dalam e-proxy, dibatasi jumlahnya.

Tags:

Berita Terkait