Revisi UU MK: Hadiah, Pesanan, atau Kebutuhan?
Kolom

Revisi UU MK: Hadiah, Pesanan, atau Kebutuhan?

Gelagat RUU ini dibahas dalam suasana darurat kesehatan menyiratkan 2 hal.

Bacaan 2 Menit
Fajar Laksono. Foto: RES
Fajar Laksono. Foto: RES

Pagi-pagi, gadget berdering lirih. Bergetar-getar. Ada pesan singkat masuk. Guru saya, yang baru purna dari Hakim Konstitusi menuliskan, “Apa yang terjadi dengan MK?”. Disertakan satu file PDF. Draft sebuah RUU. Tertulis di atasnya “RUU MK FINAL (kirim pengusul Bamus) 210220.pdf. Ada juga dilampirkan oleh beliau. Capture berita aktual di salah satu harian nasional ibukota. Judulnya mencolok, “Motif DPR Dipertanyakan”.

 

Akhirnya ketemu benang merahnya. Hari-hari belakangan, sejumlah wartawan menanyakan hal itu. Tanya soal draft RUU itu. Ada yang tanya, apa catatan MK terhadap draft itu? Ada juga yang ingin tahu, apakah MK pernah dimintai pendapat? Saya belum paham konteksnya. Di tengah situasi sekarang ini, kenapa pula ada ribut-ribut soal revisi UU MK.

 

Masukan Soal Hukum Acara

Saya jawab menuruti ingatan. Dulu, beberapa tahun lalu, sekira tahun 2016-2017, MK pernah diundang. Ketika ada rapat lintas kementerian dan lembaga. Lebih dari sekali. Tentu membahas rencana revisi UU MK. Waktu itu, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, menyusun RUU untuk revisi UU MK.

 

Saya dalam beberapa kesempatan ikut serta. Lagi-lagi, dalam ingatan saya, MK hanya memberi masukan hal-hal yang terkait dengan hukum acara. Bagaimanapun, tak ada pihak manapun yang lebih menguasai hukum acara MK, selain MK sendiri. Bukan jumawa. Tetapi, MK yang mempraktikkannya. MK yang merasakan betul implikasi pengaturan hukum acara dalam UU MK yang sedang berlaku. Maka, titik-titik mana yang perlu disempurnakan, MK begitu fasih. 

 

Juga, ada sejumlah aturan hukum acara diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Ada juga yang bersemayam di putusan MK. Ada usulan, itu dinormakan dalam UU MK. Supaya lebih pasti dan terang, supaya publik tahu. Sebatas isu-isu itu yang didiskusikan. Agar hukum acara dapat lebih menjamin, memberi kepastian, dan memudahkan orang beperkara di MK. Untuk mengakses keadilan MK. Apakah diakomodir atau tidak, itu tak jadi soalan bagi MK. Kembali, itu otoritas pembentuk undang-undang.

 

Soal pengaturan lain-lain, MK sadar sepenuhnya, itu wewenang pembentuk undang-undang. MK tak boleh ikut-ikutan dalam proses legislasi. Sebab, RUU pada saatnya akan menjadi undang-undang. Dan, semua undang-undang potensial menjadi obyek judicial review di MK. Kalau MK sempat berpendapat, itu berarti MK sedang membangun ‘kerangkeng’ bagi dirinya.

 

Pendapat itu akan menyandera kebebasannya dalam memutus perkara, sekiranya betul undang-undang itu kelak diuji di MK. Baik formil ataupun materiil. Orbit MK harus dijaga. Tetap pada koordinat sebagai penguji undang-undang. Tak boleh digeser ke mana-mana. Apalagi dipaksa-paksa merangsek ke area legislasi aktif. Haram hukumnya dalam tata negara kita hari ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait