Memahami Perjanjian dalam Praktik Outsourcing
Berita

Memahami Perjanjian dalam Praktik Outsourcing

Guna mencegah potensi perselisihan hubungan industrial di kemudian hari.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan dalam Webinar Praktik Outsourcing dalam Perusahaan dan Penyelesaian Sengketanya. Foto: RES
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan dalam Webinar Praktik Outsourcing dalam Perusahaan dan Penyelesaian Sengketanya. Foto: RES

Praktik penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau lazim dikenal dengan istilah outsourcing kerap digunakan perusahaan untuk mendorong efisiensi dan efektivitas menjalankan usaha. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah outsourcing, tapi mengatur perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain. Penyerahan sebagian pekerjaan itu dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh (PJP) yang dibuat secara tertulis.

 

Praktisi Hukum Ketenagakerjaan dari Kantor Hukum Juanda Pangaribuan & Partners, Juanda Pangaribuan mengingatkan perusahaan yang ingin melakukan praktik outsourcing harus mencermati perjanjian outsourcing yang akan dibuat oleh perusahaan pemberi pekerjaan atau pengguna (user) dengan perusahaan PJP.

 

Jika pelaksanaan outsourcing itu menggunakan mekanisme pemborongan pekerjaan, Juanda mengingatkan perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penerima pemborongan harus menandatangani perjanjian pemborongan pekerjaan. Sedikitnya ada 3 poin penting yang perlu dituangkan dalam perjanjian itu. Pertama, menjamin terpenuhinya perlindungan kerja. Kedua, hak-hak pekerja. Ketiga, syarat-syarat kerja bagi buruh sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Selanjutnya, kata dia, perusahaan penerima pemborongan pekerjaan wajib mendaftarkan perjanjian tersebut ke suku dinas ketenagakerjaan (sudinaker) Kabupaten/Kota dimana pekerjaan itu akan dilaksanakan. Dengan melaksanakan beberapa poin penting itu berarti sejak awal perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penerima pemborongan sepakat menjalankan proses outsourcing.  

 

“Bagi perusahaan pemberi pekerjaan, perjanjian ini menjadi alat kontrol terhadap pelaksanaan pemborongan pekerjaan yang dilakukan. Sekaligus untuk mencegah potensi penyimpangan dari apa yang telah disepakati dalam perjanjian,” kata Juanda dalam Seminar Hukumonline secara daring bertema “Praktik Outsourcing dalam Perusahaan dan Penyelesaian Sengketanya,”, Selasa (14/4/2020). Baca Juga: Sejumlah Catatan Kritis atas Permenaker Outsourcing

 

Adanya kewajiban perusahaan penerima pemborongan untuk mendaftarkan perjanjian pemborongan itu ke sudinaker berarti perjanjian itu tidak lagi memiliki sifat rahasia karena perusahaan telah menyampaikannya kepada pemerintah. Tidak menutup kemungkinan serikat buruh atau perwakilan buruh dapat mengakses perjanjian tersebut, sehingga mengetahui apa saja yang diperjanjikan terutama terkait hak pekerja.

 

Jika pekerja mengetahui isi perjanjian tersebut dan perusahaan tidak menjalankan sebagaimana mestinya, pekerja berpotensi akan menuntut haknya dan kondisi ini dapat membuka celah perselisihan hubungan industrial. Juanda mengingatkan sebelum menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan, perusahaan pemberi pekerjaan harus mengantongi bukti pelaporan kegiatan jasa penunjang dari sudinaker setempat. Seperti diketahui, jenis pekerjaan yang dapat diserahkan sebagian pelaksanaannya kepada perusahaan lain yaitu pekerjaan yang sifatnya penunjang.

Tags:

Berita Terkait