Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja
Kolom

Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja

Apabila bencana nasional menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan, yang ideal mengatakan perusahaan mengalami force majeure adalah perusahaan itu sendiri.

Bacaan 2 Menit
Juanda Pangaribuan saat menjadi pemateri pelatihan Hukumonline. Foto: RES
Juanda Pangaribuan saat menjadi pemateri pelatihan Hukumonline. Foto: RES

Mencegah penyebaran wabah Covid-19 meluas, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Gubernur dan Bupati menerbitkan surat edaran (SE) terkait pencegahan Covid-19. Bahkan sebagian kantor dinas tenaga kerja tidak ketinggalan menerbitkan SE dan surat himbauan supaya perusahaan mengurangi atau menghentikan kegiatan usaha, meliburkan pekerja, serta mewajibkan pekerja melakukan isolasi mandiri. Muncul pertanyaan, bagaimana dampak atau pengaruh Covid-19 terhadap hubungan kerja?

 

Dampak pun muncul mengakibatkan beberapa perusahaan merumahkan sebagian pekerja. Sebagian lagi bekerja dari rumah (work from home/WFH). Semua pekerja, pada kantor perusahaan tertentu, tanpa membedakan jabatan, melakukan WFH. Di tempat berbeda, WFH hanya pada level managerial atau staf tertentu. Sedangkan yang lain, misalnya karyawan pabrik, marketing, sales promotion girl (SPG), driver, dan lain-lain, dirumahkan.

 

Di tengah pencegahan Covid-19, dan setelah terbit Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional, apakah perusahaan salah melakukan WFH dan merumahkan pekerja? Merumahkan pekerja merupakan tindakan dari pengusaha untuk meminta pekerja supaya tidak masuk bekerja karena alasan tertentu. Perusahaan merumahkan pekerja, dalam praktik hubungan kerja, karena: a) pekerja menjalani proses pembinaan; b) pekerja menjalani proses PHK; c) operasional perusahaan berhenti atau dibatasi; d) order dan produksi menurun/berkurang. Alasan lain yang bersifat kasuistis, perusahaan merumahkan pekerja karena bencana alam misalnya tsunami, banjir bandang, dan bencana nonalam seperti wabah Covid-19.

 

Tindakan merumahkan dilakukan karena pemerintah dan perusahaan mengkhawatirkan pekerja bisa terpapar Covid-19. Kalau terdapat korban jiwa, perusahaan bisa dituduh melakukan kelalaian yang memakan korban manusia (negligent manslaughter). Merespons kejadian seperti itu, masyarakat mungkin saja melakukan kampanye untuk mengajak masyarakat menolak menggunakan jasa atau produk perusahaan. Sedangkan pemerintah sangat mungkin menjatuhkan sanksi kepada perusahaan.  

 

Bisa dikatakan, merumahkan karyawan pada saat ini karena: a) perusahaan taat pada himbauan dan permintaan pemerintah; b) perusahaan patuh pada peraturan perundang-undangan; c) perusahaan peduli pada kesehatan dan keselamatan jiwa pekerja; d) perusahaan mengutamakan kepentingan umum, bangsa dan negara. Merujuk pada alasan tersebut, maka perusahaan yang menerapkan WFH dan merumahkan pekerja, dari segi hukum ketenagakerjaan, tidak bisa disalahkan.   

 

Kalau kesimpulan seperti di atas, ketika perusahaan merumahkan pekerja, terbentuk empat fakta, yaitu: 1) pengusaha dan pekerja memiliki kesadaran yang sama tentang arti pentingnya sehat dan selamat dari paparan Covid-19; 2) WFH maupun dirumahkan merupakan pilihan yang terpaksa; 3) WFH dan dirumahkan merupakan dampak dari kedaruratan kesehatan masyarakat; 4) dirumahkan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat luas.

 

Upah WFH dan Dirumahkan

Ketika pekerja melakukan pekerjaannya, sesuai hukum ketenagakerjaan, pengusaha wajib membayar upah. Secara a contrario, pekerja yang tidak bekerja, tidak berhak atas upah. Sesuai UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 93 ayat (1), juncto Pasal 24 ayat (1) PP No. 78 tahun 2015, perusahaan dapat menerapkan prinsip no work no pay. Sekarang muncul fakta yang unik, pekerja dirumahkan karena perusahaan menghormati dan berpartisipasi mensukseskan upaya pemerintah mencegah penularan Covid-19.  

Tags:

Berita Terkait