Mengukur Manfaat dan Risiko dalam RUU Omnibus Cipta Kerja
Berita

Mengukur Manfaat dan Risiko dalam RUU Omnibus Cipta Kerja

Pendekatan regulasi berbasis risiko dinilai tidak tepat digunakan dalam mekanisme omnibus law.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Status darurat kesehatan masyarakat dan bencana nasional akibat wabah pandemi Covid-19 ternyata tidak menyurutkan langkah pemerintah dan DPR untuk terus melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Padahal, RUU Cipta Kerja terus menuai polemik di masyarakat baik materi muatannya maupun penyusunannya menggunakan metode Omnibus Law.

 

RUU Cipta Kerja ini memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal dengan 1.203 pasal dari 79 UU yang terdampak  baik yang dihapus maupun yang diubah. Tujuan utama RUU Cipta Kerja ini diarahkan meningkatkan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha yang diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Lalu, apa sebenarnya manfaat dan risiko dari naskah RUU Omnibus Cipta Kerja ini?

 

Direktur Center for Regulatory, Policy, and Governance, Mova Al Afghani mengatakan RUU Cipta Kerja mengadopsi pendekatan baru dalam membentuk peraturan yakni regulasi berbasis risiko. Selama ini pembentukan peraturan di Indonesia biasanya menggunakan pendekatan command and control yang dibarengi dengan sanksi. Sementara regulasi berbasis risiko ini tujuannya mengubah perilaku.

 

Mova melihat substansi RUU Cipta Kerja mengkaitkan perizinan dengan tingkat risiko. Pasal 7 RUU Cipta Kerja mengatur peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha meliputi 4 hal, salah satunya penerapan perizinan berusaha berbasis risiko. Misalnya, kegiatan usaha berisiko rendah hanya perlu mengantongi nomor induk berusaha (NIB), risiko menengah perlu NIB dan sertifikat standar, dan izin hanya untuk risiko tinggi. Lebih lanjut, RUU Cipta Kerja mengamanatkan dibentuk Peratutan Pemerintah.

 

Menurut dia, penilaian tingkat (risiko) bahaya dalam RUU Cipta Kerja dilakukan terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan/atau pemanfaatan sumber daya. Bagi Mova, aspek yang masuk penilaian tersebut dalam RUU Cipta Kerja tergolong sedikit dan banyak aspek lain yang tidak masuk seperti budaya, dan politik. Penetapannya dilakukan dari atas ke bawah, tidak ditentukan dari bawah.

 

Dia menilai pengawasan terkait perizinan berusaha berbasis risiko dalam RUU Cipta Kerja keliru. Pasal 12 RUU Cipta Kerja menyebut pengawasan setiap kegiatan usaha dilakukan dengan intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko usaha. Mengacu ketentuan itu, pengawasan hanya untuk kegiatan usaha berisiko tinggi.

 

“Untuk kegiatan usaha berisiko rendah dan sedang tidak diawasi, ini pemikiran keliru dalam RUU Cipta Kerja,” kata Mova dalam diskusi daring yang digelar PSHK Indonesia bertajuk “Implementasi Pendekatan Analisis Biaya-Manfaat dan Risiko Dalam Naskah RUU Cipta Kerja”, Kamis (16/4/2020). Baca Juga: Plus-Minus Metode Penyusunan Omnibus Law di Mata Akademisi

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait