Marak Konferensi Video Akibat Covid-19, Cegah Jerat UU ITE dengan Swaregulasi
Berita

Marak Konferensi Video Akibat Covid-19, Cegah Jerat UU ITE dengan Swaregulasi

Swaregulasi ini menjadi kontrak yang jelas dan terang mengikat semua peserta yang terlibat konferensi video.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi mengadakan diskusi menggunakan perangkat teknologi.  Foto: RES
Ilustrasi mengadakan diskusi menggunakan perangkat teknologi. Foto: RES

Penggunaan berbagai platform digital untuk konferensi video meningkat salama pandemi Covid-19. Pertemuan birokrasi, bisnis, pendidikan, hingga keagamaan marak memanfaatkannya. Namun perlu waspada. Semua peserta konferensi video punya risiko dijerat UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 2016 (UU ITE). Perlu ada swaregulasi yang berlaku di tiap konferensi video.

 

“Ingat bahwa semua norma hukum yang mengikat di dunia faktual tetap mengikat subjek hukum di dunia virtual,” kata Danrivanto Budhijanto, Ketua Departemen Hukum Teknologi Informasi dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, kepada hukumonline.

 

Segala interaksi di dunia virtual tetap menimbulkan hubungan dan akibat hukum yang sama seperti di dunia faktual. Hal itu karena komputer, jaringan komputer, serta segala perangkat elektronik yang digunakan hanya perantara interaksi.

 

Danrivanto mengingatkan pasal 1 angka 2 UU ITE. Disebutkan di bagian ketentuan umum tersebut bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Oleh karena itu konferensi video dengan berbagai platform jaringan internet termasuk dalam lingkup transaksi elektronik.

 

Ia mengingatkan UU ITE ibarat ‘payung’ dalam konsep perlindungan dan penegakkan hukum berkaitan dunia virtual. Transaksi elektronik dalam UU ITE tidak hanya sebatas urusan perdagangan secara elektronik (e-commerce). Definisi spesifik dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) memberi penegasan soal itu. Diatur dalam pasal 1 angka 24 UU Perdagangan bahwa perdagangan melalui sistem elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.

 

Perbuatan hukum yang dimaksud UU ITE sangat luas meliputi lingkup publik atau lingkup privat. Pengaturan lebih lanjut dijelaskan pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP Sistem dan Transaksi Elektronik).

 

(Baca juga: Keabsahan Tanda Tangan Elektronik di Sidang e-Litigasi)

 

Penjelasan ini dibenarkan oleh Teguh Arifiyadi, Ketua Indonesia Cyber Law Community (ICLC). Teguh juga mengingatkan soal jangkauan UU ITE yang bersifat ekstrateritorial. Hal itu diatur dalam norma UU ITE. “Meskipun dalam praktiknya membutuhkan upaya yang tidak mudah dalam menghadapi kendala yurisdiksi,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait