Keppres 12/2020 Sebagai Dalil Force Majeure, Benarkah?
Kolom

Keppres 12/2020 Sebagai Dalil Force Majeure, Benarkah?

Meski di Indonesia belum terdapat pengaturan mengenai doktrin perubahan keadaan atau keadaan sulit, akan tetapi renegosiasi kontrak disebabkan adanya wabah Covid-19 yang menjadi bencana nasional tetap dapat dilakukan.

Bacaan 2 Menit
Akhmad Budi Cahyono. Foto: Istimewa
Akhmad Budi Cahyono. Foto: Istimewa

Pada tanggal 13 April 2020, Presiden Djoko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional. Terbitnya Keppres ini tentunya menimbulkan pertanyaan bagi para pelaku bisnis apakah hal ini dapat dijadikan dasar berlakunya  keadaan memaksa (force majeure) terhadap kontrak-kontrak bisnis yang telah disepakati sebelum terbitnya Keppres tersebut.

 

Pertanyaan ini wajar mengingat pada umumnya dalam suatu perjanjian terdapat klausula atau pengaturan kedaan memaksa di dalamnya. Klausula tersebut memasukkan bencana alam seperti banjir, gempa bumi dan tanah longsor maupun bencana non alam seperti epidemik sebagai kedaan memaksa yang dapat membebaskan debitur atau pihak yang memiliki kewajiban dalam perjanjian dari kewajiban membayar ganti rugi atas tidak terlaksananya perjanjian.

 

Namun demikian, tidak sedikit para pelaku bisnis yang tidak mengatur secara spesifik terjadinya pandemi penyakit tertentu seperti yang kita alami sekarang ini sebagai keadaan memaksa. Oleh karenanya, pembahasan mengenai hal ini menjadi penting guna menjawab tepat atau tidaknya Keppres No. 12 Tahun 2020 dijadikan dalil keadaan memaksa.

 

Keadaan Memaksa Menghalangi Terlaksananya Perjanjian

Sebelum kita menentukan apakah Keppres No. 12 Tahun 2020 dapat dijadikan dalil adanya keadaan memaksa, maka kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan keadaan memaksa dalam hukum perjanjian. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak ditemukan pengertian keadaan memaksa. Namun demikian, hal tersebut dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Prof Subekti menjelaskan bahwa kedua pasal tersebut mengatur hal yang sama yaitu dibebaskannya debitur dari kewajiban mengganti kerugian, karena suatu kejadian yang dinamakan keadaan memaksa (Subekti, 2010).

 

Lebih lanjut Prof Subekti menjelaskan bahwa keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak dapat menepati janjinya. Dengan kata lain, keadaan memaksa menghalangi debitur melaksanakan prestasi atau kewajibannya dalam perjanjian.

 

Apabila kita mengacu pada Keppres No. 12 Tahun 2020, maka penerbitan Keppres tersebut tidak secara langsung menghalangi debitur dalam melaksanakan prestasi atau kewajibannya dalam perjanjian. Isi Keppres tersebut sama sekali tidak melarang maupun membatasi warga masyarakat atau pelaku usaha dalam melakukan aktivitas bisnis.

 

Namun demikian, Keppres tersebut secara tidak langsung dapat menghalangi pelaksanaan prestasi debitur tertentu terkait dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka penanggulangan bencana. Misalnya terkait dengan kebijakan berupa Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) yang telah diberlakukan sejumlah daerah tertentu seperti DKI Jakarta, sebagian wilayah Jawa barat dan beberapa daerah lain di Indonesia. Bagi penyelanggara perjalanan wisata, hal ini tentunya dapat menjadi halangan pelaksanaan prestasi disebabkan ditutupnya sejumlah objek wisata dalam rangka memangkas mata rantai penularan Covid-19.

Tags:

Berita Terkait