Meneropong Penegakan Kode Etik Hakim dari Kramat Raya 57
Resensi

Meneropong Penegakan Kode Etik Hakim dari Kramat Raya 57

Uraian buku ini sangat membantu pembaca memahami proses dan dinamika penegakan kode etik hakim bukan saja di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Meneropong Penegakan Kode Etik Hakim dari Kramat Raya 57
Hukumonline

Pembentukan Komisi Yudisial didasari pemikiran bahwa para hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Gagasan tentang perlunya lembaga khusus untuk menjalankan fungsi tertentu yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman bukan hal baru. Puluhan tahun lalu gagasan itu sudah muncul, dan dikuatkan pembentukan lembaga khusus bernama Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945. Dalam perjalanannya pun lembaga ini mengalami dinamika yang luar biasa ketika menjalankan tugas dan wewenangnya.

Sudah banyak artikel jurnal, ulasan hasil penelitian, dan buku yang membahas gagasan kelahiran Komisi Yudisial. Sekadar menyebut salah satu yang menggunakan pendekatan historis adalah buku Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (2016). Seperti halnya karya Hoesein ini, sebagian besar buku yang menganalisis Komisi Yudisial, khususnya berkaitan dengan wewenang dan fungsi lembaga, ditulis oleh para penulis luar. Ada beberapa buku yang ditulis komisioner membahas wewenang dan tugas Komisi Yudisial secara umum.

Salah satu buku yang mencoba mengangkat secara khusus masalah pengawasan hakim dan penegakan kode etiknya kini telah hadir. Buku ‘Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial, diterbitkan Sinra Grafika pada 2020; masih fresh from the oven. Menariknya, buku ini ditulis oleh tiga orang yang sampai buku ini terbit masih tercatat sebagai ‘orang dalam’ Komisi Yudisial. Mereka adalah Farid Wajdi (komisioner Komisi Yudisial), Imran (Tenaga Ahli Komisi Yudisial), dan M. Ilham Hasanuddin (pegawai Komisi Yudisial).

(Baca juga: KY Dorong Hakim Gunakan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum).

Buku yang ditulis oleh orang dalam, menggunakan kacamata internal, selalu menarik untuk ditelisik karena sejumlah alasan. Pertama, sangat mungkin pembaca mendapatkan realitas penegakan kode etik dalam rangka pengawasan hakim ketimbang buku yang ditulis orang luar. Penulis luar bisa saja melihatnya lebih normatif; sebaliknya orang dalam dapat menceritakan bagaimana yang terjadi di lapangan. Kedua, berkaitan dengan alasan pertama, orang dalam dapat memberikan contoh-contoh kasus yang menarik untuk diulas. Selain itu, pembaca dapat mengetahui bagaimana mekanisme yang harus dijalankan di lembaga itu secara detil. Dalam buku ini, pembaca dapat melihatnya pada proses pembuktian dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim (hal. 240 dan seterusnya).

Hukumonline.com

Namun, bukan berarti tidak ada kelemahan memandang sesuatu dari teleskop internal. Meneropong sesuatu, apalagi yang selalu berusaha menjauhkan diri dari pantauan, bisa multitafsir. Apakah suatu gerak dan perbuatan sudah melanggar kode etik atau belum; bahkan apakah sesuatu masuk lingkup pelanggaran kode etik atau bukan, inilah antara lain yang sering disaksikan oleh pembaca.

Lepas dari perdebatan itu, Komisi Yudisial tak mungkin melepaskan diri dari teropong yang dapat menjaga harkat dan martabat hakim, menjaga independensi dan akuntabilitas hakim, serta menjaga prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak. Ada pula prinsip-prinsip internasional yang berlaku dalam pengawasan hakim. Para pembaca beruntung mendapatkan uraian tentang prinsip-prinsip internasional, hasil penelitian Chyntia Gray di Amerika Serikat pada tahun 2004 (hal. 110), analisis delapan kasus di Amerika Serikat (hal. 117), perbandingan Komisi Yudisial di Peru, Consejo Nacional de la Magistratura (hal. 39), dan Komisi Yudisial di Belanda, Raad voor de Rechtspraak (hal. 51). Apa isi studi komparatif itu, jauh lebih baik dibaca langsung dari bukunya.

Studi komparatif semacam ini seyogianya menjadi pembelajaran bagi Komisi Yudisial di Indonesia dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam khasanah literasi, pembaca pasti berharap ada gambaran realitas di dalam negeri, dan pelajaran baik apa yang dapat diperoleh dari pengalaman negara lain. Buku karya ketiga penulis menyajikan laporan masyarakat yang masuk ke Komisi Yudisial, jumlah laporan yang diregistrasi, usul penjatuhan sanksi selama 2005-2018, dan pelaksanaan sidang Majelis Kehormatan Hakim selama periode 2009-2018.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait