Dilema PHK atau Potong Gaji Akibat Covid-19? Negosiasi Adalah Kunci
Berita

Dilema PHK atau Potong Gaji Akibat Covid-19? Negosiasi Adalah Kunci

Perlu dilakukan dengan iktikad baik oleh pengusaha dan pekerja.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemutusan hubungan kerja akibat Covid-19. Ilustrator: HGW
Ilustrasi pemutusan hubungan kerja akibat Covid-19. Ilustrator: HGW

Tersiar kabar ada law firm besar Indonesia mulai memotong gaji hingga level associate pada bulan ini sebagai dampak penyebaran wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Pemotongan gaji hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memang tengah menghantui mereka yang bekerja di sektor swasta. Benarkah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) membolehkan PHK atau potong gaji untuk alasan terdampak pandemi seperti Covid-19 kali ini?

 

Juanda Pangaribuan, mantan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Jakarta Pusat, mengingatkan hal-hal yang dilarang sebagai alasan PHK dalam Pasal 153 UU Ketenagakerjaan. Sejauh tidak melanggar pasal tersebut maka PHK boleh saja dilakukan. Legalitas PHK cukup memperhatikan alasan dan kompensasi. Intinya, alasannya harus sah sesuai UU Ketenagakerjaan lalu pembayaran kompensasi harus dipenuhi Masalahnya, kerugian bisnis akibat wabah Covid-19 ternyata tidak bisa langsung menjadi alasan sah PHK. Padahal pembatasan aktifitas bekerja untuk mengendalikan wabah Covid-19 telah menyebabkan sejumlah kerugian besar.

 

“Konsekuensi kebijakan pemerintah saat ini membuat perusahaan sulit mendapatkan penghasilan untuk membayar gaji. Kondisi saat ini bukan atas kehendak pengusaha dan pekerja,” kata Juanda kepada hukumonline.

 

(Baca juga: Bencana Covid-19, Sejumlah Law Firm Global Potong Gaji Hingga Putuskan Hubungan Kerja).

 

Menghentikan operasional perusahaan dan merumahkan pekerja membuat perusahaan kehilangan sumber pendapatan. Setidaknya pemasukan cukup banyak berkurang. Sangat mungkin perusahaan terdorong melakukan PHK.

 

Di satu sisi, alasan paling mungkin yang sah untuk PHK saat ini adalah kondisi force majeur (keadaan memaksa). Alasan ini diatur dalam Pasal Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Di sisi lain PHK juga harus mengeluarkan biaya untuk kompensasi. Padahal kondisi keuangan sedang sulit. “Pengusaha bisa saja menggunakan Pasal 24 PP No. 78 tahun 2015 (PP Pengupahan), prinsip no work no pay. Tapi kondisi tidak bekerja juga bukan karena kemauan pekerja. Pasti ada protes,” ujar Juanda yang saat ini aktif sebagai advokat spesialis ketenagakerjaan. Ketentuan no work no pay juga disebut dalam Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

 

Bagaimana dengan pilihan untuk pemotongan gaji? Ike Farida, Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI), mengakui hal itu tidak dibenarkan oleh regulasi yang ada. Ada batas yang jelas dalam UU Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan mengenai syarat pemotongan gaji sebagai upah.

 

(Baca juga: Covid-19 Bencana Nasional, Force Majeur atau Rebus Sic Stantibus Dapat Dipakai Batalkan Kontrak?).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait