Sejumlah Akademisi Ramai-Ramai Tolak RUU Cipta Kerja
Berita

Sejumlah Akademisi Ramai-Ramai Tolak RUU Cipta Kerja

Dengan beragam alasan mulai penyusunan RUU Cipta yang tertutup, materi muatannya cenderung kapitalis neoliberalis, menutup mata berbagai persoalan pertambangan, mengabaikan perlindungan ketenagakerjaan, hingga mengabaikan sejumlah aturan lingkungan hidup.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Setelah penolakan pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD), giliran sejumlah akademisi dari berbagai universitas menyatakan sikap serupa yakni menolak pembahasan RUU Cipta Kerja. Selain substasinya bermasalah, penyusunan RUU Cipta Kerja selama ini dipandang mengabaikan aspirasi masyarakat.

 

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof Susi Dwi Harijanti menilai sejak awal proses pembentukan/penyusunan RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan sebagaimana diamanatkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebab, mulai penyusunan, perumusan, pembuatan di internal pemerintah tidak transparan atau minim partisipasi publik.

 

“Penyusunan draf RUU Cipta Kerja terkesan sembunyi-sembunyi dari publik. Masyarakat baru dapat mengakses draf RUU Cipta Kerja setelah rampung dirancang pemerintah dan diserahkan ke DPR,” ujar Susi Dwi Harijanti dalam diskusi daring bertajuk “92 Akademisi Menolak Omnibus Law” di Jakarta, Rabu (22/4/2020).

 

Baca Juga: Karut-Marut Penyusunan RUU Cipta Kerja  

 

Dia juga menilai RUU Cipta Kerja tak hanya melanggar norma-norma pembentukan peraturan seperti diatur UU 12/2022, namun juga melanggar asas penyelenggaraan negara sebagaimana amanat konstitusi dan melanggar etika atau moral konstitusi. Menurutnya, melibatkan partisipasi publik saat pembahasan di DPR pun dinilai tidak tepat. Sebab, partisipasi publik harus dimaknai secara luas melalui berbagai saluran media komunikasi.

 

Baginya, publik memiliki hak untuk didengar. Apalagi pembahasan RUU saat kondisi status darurat kesehatan dan bencana nasional akibat pandemi Covid-19. Menjadi tidak etis bila DPR dan pemerintah bersikukuh melanjutkan pembahasan RUU Cipta di tengah situasi pandemi Covid-19 yang sebelumnya sarat dengan penolakan masyarakat. “Tolak RUU Cipta Kerja, suara rakyat penentu akhir,” tegasnya.

 

Empat alasan

Guru Besar Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas Prof Yonariza menilai substansi RUU Cipta Kerja cenderung berkarakter kapitalisme neoliberal yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi atau setidaknya berwawasan pembangunan berkelanjutan, tapi malah mengorbankan kesejahteraan rakyat. Tentu saja karakter seperti ini tidak sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945.

 

Dia memberi contoh muatan Pasal 3 RUU Cipta Kerja tentang tujuan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat secara merata di seluruh wilayah negara Indonesia. Namun, materi muatan lain dalam draf RUU Cipta justru membuka peluang lapangan pekerjaan bagi sumber daya asing.

Tags:

Berita Terkait