Bagaimana Pemidanaan Korporasi Sebaiknya Dilakukan? Ini Kata Hakim Agung
Berita

Bagaimana Pemidanaan Korporasi Sebaiknya Dilakukan? Ini Kata Hakim Agung

Penuntutan harusnya dilakukan bersamaan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Webinar tindak pidana oleh korporasi yang diselenggarakan hukumonline. Foto: RES
Webinar tindak pidana oleh korporasi yang diselenggarakan hukumonline. Foto: RES

Dalam beberapa tahun terakhir aparat penegak hukum telah menjerat belasan korporasi yang diduga melakukan tindak pidana baik itu kejahatan lingkungan, penipuan yang ditangani Kejaksaan Agung dan Kepolisian hingga yang terjerat kasus korupsi seperti yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari jumlah tersebut, rata-rata proses hukum yang dilakukan terhadap korporasi terpisah dengan direksinya.

Sekadar contoh adalah kasus PT Merial Esa, milik Fahmy Darmawansyah. Perusahaan tersebut baru ditetapkan sebagai tersangka pada awal Maret 2019 karena diduga telah memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait pembahasan dan pengesahan RKA-K/L dalam APBN-P Tahun Anggaran 2016 yang dialokasikan untuk Badan Keamanan Laut (Bakamla). Sebelumnya, Fahmi, selaku pemilik perusahaan, telah dinyatakan bersalah dan divonis 2 tahun 8 bulan penjara. Vonis dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta  pada Mei 2017. Ini berarti penetapan status tersangka terhadap korporasi baru dilakukan dua tahun setelah pemilik dipidana.

Kasus lain, PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE). Perusahaan yang semula bernama PT Duta Graha Indah (DGI) ini menjadi tersangka kasus korupsi pada 24 Juli 2017, karena dugaan terlibat dalam tindak pidana korupsi pembangunan RS Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2010. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan perkara yang sama dengan tersangka Dudung Purwadi, Direktur Utama PT DGI dan Made Maregawa, pejabat pembuat komitmen. Dudung sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus Wisma Atlet pada 2015 lalu, sementara Made Maregawa telah lebih dulu menjadi tersangka pada Desember 2014.

(Baca juga: Menjerat Pidana Pemegang Saham dalam Kejahatan Korporasi).

Hakim Agung Surya Jaya berpendapat semestinya penetapan tersangka korporasi dilakukan bersamaan dengan orang yang diduga bertanggung jawab dalam dalam perkara yang sama (natural person). Cuma, ia mengakui langkah semacam ini masih jarang dilakukan aparat penegak hukum. Padahal ada sejumlah alasan mengapa penuntutan terhadap korporasi dan orang harus diajukan secara bersamaan. “Ini mencegah jika ada pendapat ketika pengurus korporasi diproses hukum lalu tidak boleh lagi diajukan korporasinya ke proses hukum karena nebis in idem,” terang Surya Jaya dalam diskusi webinar hukumonline beberapa hari lalu.

Alasan selanjutnya mengenai sumber daya penegak hukum. Sudah lazim apabila penegak hukum kerap berpindah posisi dari divisi satu ke divisi lain atau dari wilayah satu ke wilayah lainnya. Nah jika penuntutan tidak dilakukan bersamaan, dan ada perpindahan penyidik maka penyidik yang menggantikan belum tentu paham perkara tersebut dan berpotensi korporasi tidak akan dituntut nantinya.

“Menurut saya dakwaannya buat satu dakwaan. Yang lain lagi banyak perkara korpprasi yang diperiksa asetnya kosong, padahal itu harus disita karena hasil kejahatan. Ini lemah sekali pengembalian hasil kejahatan, tidak bisa dicari hasil kejahatan, padahal kita bisa lihat itu bisa dicari,” ujarnya.

Surya menyatakan pemidanaan korporasi bukanlah bentuk kriminalisasi, tetapi agar iklim usaha di Indonesia lebih kompetitif dan membuat perusahaan jauh lebih baik. Sebab dengan adanya pemidanaan korporasi yang pedomannya melalui Perma, perusahaan yang memenangkan suatu proyek bukan lagi mereka yang memberi suap, tetapi karena memang sudah sesuai persyaratan.

Tags:

Berita Terkait