Antikorupsi di Tengah Bencana Covid-19
Kolom

Antikorupsi di Tengah Bencana Covid-19

Karena ini soal kemanusiaan, maka yang dikedepankan adalah hati untuk melayani. Jika sampai di persidangan DPR, sebaiknya Perppu ini ditolak saja sehingga ketentuan bencana dalam UU Tipikor tetap berlaku efektif.

Bacaan 2 Menit
Korneles Materay. Foto: Istimewa
Korneles Materay. Foto: Istimewa

Seluruh umat manusia dikejutkan dengan munculnya wabah baru yang disebut Covid-19. Penyebarannya yang eksponensial dan tanpa pandang bulu terhadap seluruh spesies manusia membuat World Health Organization (WHO) menetapkannya sebagai pandemi global. Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sejak saat itu, pasien Covid-19 yang teridentifikasi telah menembus ribuan orang kini.

 

Per 13 April 2020, Pemerintah mengumumkan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Sebelumnya, perjalanan penetapan status dimulai pada 28 Januari 2020 di mana Pemerintah menyatakan Indonesia berstatus keadaan darurat tertentu dan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 statusnya menjadi darurat kesehatan masyarakat (31/3/2020).

 

Covid-19 menyebabkan kegoncangan yang luar biasa terhadap struktur ekonomi dan sosial pemerintahan, swasta, serta masyarakat. Pemerintah, swasta, kelompok masyarakat hingga orang pribadi telah mengambil langkah dan inisiatif sesuai kapasitas masing-masing untuk melawan bencana ini. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Per 2 April, Pemerintah menggelontorkan anggaran untuk mengatasi Covid-19 melalui APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun terbagi atas pemulihan ekonomi (Rp150 triliun), insentif perpajakan (Rp70 triliun), perlindungan sosial (Rp110 triliun), dan bantuan kesehatan (Rp75 triliun).

 

Persoalan muncul ketika Perppu di atas dianggap lemah nafas anti-korupsinya karena memberikan imunitas bagi pihak-pihak dalam Perppu (anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya) dan tentu saja rentan terjadi korupsi kebijakan. Selain itu, Perppu mengganggu sejumlah kewenangan daripada lembaga lain seperti kewenangan anggaran DPR yang membuat sebagian anggota DPR berang. Ditambah lagi, uang Rp405,1 triliun dinilai masih kurang transparan dan aksesibel. Ada sejumlah peraturan setingkat UU juga terdampak dari revisi ini seperti UU MD3, UU Keuangan Negara, UU Kepabeanan, UU Penjaminan Simpanan dan seterusnya.

 

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

 

Korupsi dan Impunitas

Kritik dari banyak kalangan misalnya ditujukan pada norma Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3) yang disinyalir dapat menjadi pintu masuk bagi kepentingan koruptif orang/kelompok tertentu sekaligus memberikan impunitas karena membuat orang-orang di dalam Perppu menjadi kebal hukum. Menurut pasal a quo, jika mereka bertindak menyimpang dengan menyalahgunakan dana bencana, uang negara yang menguap tidak dianggap suatu kerugian negara dan perilaku/perbuatannya itu sendiri bukanlah delik yang dapat dituntut pidana maupun perdata, pun kebijakan/keputusan yang sudah dibuat tidak dapat diuji pada pengadilan tata usaha negara. Dalih Perppu melindungi pelaksana kebijakan tapi memuat logika yang sebetulnya keliru.

 

Pertama, Pasal 27 ayat (1) memuat klausul biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis bukan merupakan kerugian negara. Menurut Penulis, ada atau tidak adanya kerugian negara secara hukum harus melalui audit oleh lembaga/instansi yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Lazimnya mengetahui kerugian negara ada atau tidak jika sudah ada implementasi kebijakan dan audit dilakukan. Audit kerugian negara tentu bukan sesuatu yang mengawang tetapi rasional, logis, dan didukung bukti. Prinsipnya bahwa keuangan negara itu datangnya dari hasil keringat rakyat sehingga setiap sen yang dikelola harus mampu dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Apalagi dialokasikan untuk menanggulangi bencana.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait