Aturan-Aturan Terkait Force Majeur dalam KUH Perdata
Berita

Aturan-Aturan Terkait Force Majeur dalam KUH Perdata

Selain diatur dalam perikatan pada umumnya, diatur pula dalam kegiatan sewa menyewa dan perburuhan.

Oleh:
Muhammad Yasin/Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi ketentuan force majeur dalam KUH Perdata/BW. Ilustrator: HGW
Ilustrasi ketentuan force majeur dalam KUH Perdata/BW. Ilustrator: HGW

Dampak pandemi Covid-19 merambah ke banyak aspek kehidupan masyarakat. Imbas yang sangat terasa saat ini adalah pada aspek ekonomi. Penutupan operasional perusahaan akibat larangan beroperasi pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak hanya mengganggu likuiditas perusahaan, tetapi juga pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Juga, mulai muncul kekhawatiran tentang potensi kepailitan yang menimpa perusahaan terutama jika pandemi berlanjut.

Inilah yang menarik perhatian sejumlah kalangan. Pertanyaan yang mengemuka: apakah kondisi Covid-19 ini dapat dijadikan dalih force majeur atau overmacht untuk tidak menjalankan perjanjian sebagaimana mestinya. Isu ini sudah bergaung di kalangan akademisi. Bahkan Pemerintah, melalui Menko Polkhukam Moh. Mahfud MD, mengeluarkan pernyataan yang intinya menyatakan kondisi akibat Covid-19 tidak otomatis dapat dipakai sebagai force majeur.

Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) termasuk yang ikut membahas masalah ini melalui diskusi webinar pada Rabu (22/4). Dalam diskusi itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Agus Yudha Hernoko menyebutkan dasar hukum keadaan memaksa dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tercantum dalam beberapa pasal dan kegiatan. “Pengaturan force majeur di KUH Perdata fragmentaris,” ujarnya.

(Baca juga: Akibat Hukum Force Majeur dalam Pandangan Pakar Hukum Perdata).

Di acara yang sama, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Rosa Agustina, juga menyampaikan sejumlah pasal yang relevan. Hukumonline mencoba menelusuri beberapa pasal dalam KUH Perdata yang berkaitan dengan pengaturan force majeur.

Pasal 1244 (aturan umum)

Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidak ada pada pihaknya”.

Menurut J. Satrio dalam bukunya Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya (1999), Pasal 1244 KUH Perdata ini memberikan ketentuan tentang adanya kerugian karena tidak dilaksanakannya perjanjian, atau pelaksanaan perikatan tidak tepat waktu karena hal yang tidak terduga, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, serta tanpa iktikad buruk dari debitur.

Pasal 1245 (ketentuan umum)

Tiadalah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian  tak disengaja di berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama  telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait