Iktikad Baik, Unsur Penting Penerapan Klausula Force Majeur
Berita

Iktikad Baik, Unsur Penting Penerapan Klausula Force Majeur

Keppres No. 12 Tahun 2020 bisa menjadi pintu masuk mengajukan gugatan. Bersifat kasuistik.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi force majeur menurut KUH Perdata. Ilustrator: HGW
Ilustrasi force majeur menurut KUH Perdata. Ilustrator: HGW

Jika ingin menjadikan status bencana nasional sebagai dasar menyatakan keadaan memaksa dalam pelaksanaan kontrak, debitur harus dapat membuktikan ia benar-benar terhalang oleh keadaan memaksa itu untuk menjalankan kewajiban terhadap kreditur. Selain itu, kedua belah pihak harus benar-benar punya iktikad baik menjalankan kewajiban, termasuk menanggung risiko jika terjadi keadaan kahar.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tan Kamello, menunjuk Pasal 1338 KUH Perdata yang menegaskan perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (zij moeten te goeder trouw worden ten uitvoer gebragt). Menurutnya, jika salah satu pihak dalam kontrak tidak memiliki sikap kejujuran dalam memperoleh kebendaan, maka ia dianggap sebagai orang yang beriktikad buruk.

Pentingnya iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak dalam kondisi kahar mengemuka dalam diskusi webinar ‘Force Majeur dalam Hubungannya dengan Keppres No. 12 Tahun 2020’ yang diselenggarakan Departemen Hukum Keperdataan FH USU, Rabu (29/4) lalu. Dalam KUH Perdata, ada dua penggunaan konsep iktikad baik, yaitu dalam Buku II (Kebendaan) dan Buku III (Perjanjian). Iktikad baik dalam hukum kebendaan bermakna kejujuran (het subjectief leer), sedangkan dalam hukum perjanjian, iktikad baik bermakna kepatutan (het objectief leer).

(Baca juga: Penyebaran Covid-19 Ditetapkan Sebagai Bencana Nasional).

Pasal 1244 KUH Perdata menegaskan jika ada alasan untuk tidak memenuhi kontrak, maka debitur harus dihukum membayar biaya, rugi, dan bunga jika debitur tak dapat membuktikan bahwa tidak dipenuhinya kontrak karena ada suatu hal yang tak terduga. Dengan kata lain, jika debitur dapat membuktikan terjadinya force majeur, maka ia dapat dibebaskan dari kewajiban biaya, rugi dan bunga tersebut. “Sebab tak normal harus dibuktikan oleh debitur, sehingga debitur tidak dapat diminta pertanggungjawaban,” papar Prof. Tan Kamello.

Menurut Guru Besar Hukum Keperdataan itu, jika debitur beriktikad buruk, maka ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata tidak dapat memberikan perlindungan hukum kepadanya. Namun ia mengingatkan apa yang ada dalam teori belum tentu sama dengan bagaimana praktik di pengadilan.

Dalam webinar yang sama, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Azhari Yahya, menyampaikan paparan senada, bahwa iktikad baik sangat penting dalam pelaksanaan kontrak. Secara normative, Pasal 1339 KUH Perdata sudah menegaskan persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang. “Inti yang perlu disampaikan di sini bahwa semua isi kontrak bisnis yang sudah disepakati oleh para pihak (dalam hal ini pelaku dunia usaha) dalam kondisi normal wajib dilaksanakan,” paparnya.

Suatu peristiwa, katakanlah penyebaran wabah, tidak otomatis dapat disebut force majeur atau kahar. Sebab, kahar itu harus memenuhi kualifikasi yang sudah ditentukan perundang-undangan, yaitu: ada kejadian yang tidak terduga, ada halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan; ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur; ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risikonya kepada debitur.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait