Masyarakat Sipil Minta Presiden Tolak Revisi UU MK
Berita

Masyarakat Sipil Minta Presiden Tolak Revisi UU MK

Dikhawatirkan ada benturan kepentingan terkait dengan pengajuan uji materi sejumlah UU di MK.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Sejumlah koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik rencana DPR untuk merevisi UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.

Mengingat situasi Indonesia yang sedang dilanda pandemi Covid-19, menurut Koalisi, seharusnya revisi ini tidak dibahas apalagi perubahan UU MK tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020, sehingga tidak bisa dibahas tahun ini. Selain itu Koalisi juga meminta. Presiden Joko Widodo menolak rencana revisi yang merupakan inisiasi dari DPR itu. “Dalam naskah yang beredar di masyarakat setidaknya ada empat belas poin perubahan dalam RUU ini, namun ketika ditelisik lebih lanjut, permasalahan pokok ada pada tiga ketentuan,” kata Koalisi dalam keterangan tertulisnya.

Pertama, kenaikkan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, dari 2 tahun 6 bulan menjadi 5 tahun, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) RUU MK. Kedua, menaikkan syarat usia minimal Hakim Konstitusi, dari 47 tahun menjadi 60 tahun, sebagaimana direncanakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU a quo.

(Baca juga: Menyoal Urgensi Revisi UU MK).

Ketiga, masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang menjadi hingga usia pensiun, yaitu hingga usia 70 tahun. Sebelumnya dalam satu periode, hakim konstitusi menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Hal ini terlihat dari dihapusnya ketentuan Pasal 22 dalam RUU a quo dan Pasal 87 huruf c yang memperpanjang usia pensiun hakim konstitusi, dari 60 tahun menjadi 70 tahun.

Dalam pasal yang sama disebutkan juga bahwa apabila hakim MK pada saat jabatannya berakhir telah berusia 60 tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 tahun. Sementara untuk yang tidak mencapai, dapat ikut seleksi kembali jika usianya sudah mencapai 60 tahun. “Perubahan ini disinyalir menjadi cara untuk “menukar guling” supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti Revisi UU KPK dan Perppu Penanganan Covid-19,” kata Koalisi dalam pernyataan resmi.

Melihat poin-poin perubahan di atas koalisi menilai terdapat empat permasalahan mendasar, pertama revisi ini sama sekali tidak mendesak apalagi pemerintah saat ini tengah berfokus pada isu kemanusiaan akibat pandemi Covid-19. Data per 1 Mei 2020 saja setidaknya 10.551 orang sudah positif terdampak pandemi ini. Untuk itu, yang semestinya dilakukan DPR adalah mengarahkan segala fungsinya baik legislasi, anggaran, dan pengawasan pada penanganan permasalahan kesehatan masyarakat tersebut, bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial.

Kedua rencana revisi ini dianggap kental dengan nuansa konflik kepentingan baik itu bagi DPR atau pun Presiden itu sendiri. Sebab saat ini MK sedang menyidangkan dua undang-undang yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dihujani banyak kritik. Sedangkan jika menelisik substansi RUU ini justru yang diuntungkan adalah MK itu sendiri, sehingga publik khawatir ini akan menjadi bagian “tukar guling” antara DPR, Presiden, dan MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait