MA Cabut Larangan Kreditur Separatis Ajukan PKPU
Utama

MA Cabut Larangan Kreditur Separatis Ajukan PKPU

Ketentuan sebelumnya dianggap bertentangan dengan UU Kepailitan.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: HOL
Gedung Mahkamah Agung. Foto: HOL

Mahkamah Agung baru saja mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SKMA) No. 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. SKMA tersebut resmi mencabut SKMA sebelumnya No. 3/KMA/SK/I/2020. SK yang lama membatasi hak kreditur separatis untuk ajukan PKPU sehingga menimbulkan pro dan kontra.

Bagi yang bersikap kontra, larangan kreditur separatis untuk ajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) jelas bertentangan dengan Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Pasal itu tegas memberikan hak kepada debitur dan kreditur, tanpa membedakan jenis kreditur untuk mengajukan PKPU. Bahkan, dalam penjelasan Pasal 222 tersebut ditegaskan yang dimaksud dengan kreditur yang berhak mengajukan PKPU adalah setiap kreditur, baik konkuren dan preferen maupun separatis. Akhirnya, MA menjawab argumentasi ini dengan memberlakukan SKMA No. 109 tahun 2020.

Terkait kebijakan baru ini, Aji Wijaya dari fima hukum GP Aji Wijaya berpendapat meskipun SKMA terdahulu, yakni No. 3 Tahun 2020 bertentangan dengan UU Kepailitan, sudah sepatutnya MA sebagai supreme court dan lembaga judex juris berani melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), terlebih pada masa darurat seperti saat ini.

(Baca juga: Menggagas Pembaruan Aturan Kepailitan).

Bahayanya, katanya, akan ada potensi pengajuan permohonan PKPU dan Pailit kepada para debitur secara besar-besaran akibat hambatan bisnis dalam masa pandemi Covid-19. SKMA No. 3 Tahun 2020, kata dia, justru merupakan terobosan yang sangat membantu mengurangi arus permohonan Pailit/PKPU oleh kreditur separatis selama masa pandemi. Setidaknya, sampai UU Kepailitan diubah. Sebaliknya, jika tetap bersikukuh konsisten dengan ketentuan UU Kepailitan, ia pesimis para kreditur juga konsisten menempuh jalur hukum bagi para debitur yang gagal bayar akibat pandemi.

“Bisa dibayangkan, akhir 2020 dan sepanjang 2021 akan sangat banyak debitur yang dimohonkan Pailit atau PKPU. SKMA 109 adalah sebuah kemunduran yang sangat disayangkan diterbitkan oleh Pak Hatta Ali saat injury time masa jabatannya,” imbuhnya.

Lagi pula, tanpa harus diberikan hak ajukan PKPU, kreditur separatis sebetulnya sudah dilindungi hak-hak pengembalian utangnya melalui hak jaminan kebendaan debitur. Untuk itu, Aji menolak adanya hak kreditur untuk mengajukan PKPU. Sesuai hakikat PKPU, hanya debiturlah yang mengetahui keadaan keuangannya untuk melakukan restrukturisasi atau tidak, bukan kreditur. “Jika debitur lalai memenuhi kewajibannya, setiap saat kreditur padahal juga bisa memohonkan pailit terhadap debitur,” jelasnya.

Praktisi Hukum Kepailitan, James Purba termasuk pihak yang awalnya mendukung SKMA No. 3 Tahun 2020 dengan alasan urgensitas kreditur separatis mengajukan PKPU menjadi hilang karena hak-hak mereka sudah terjamin dengan adanya benda-benda yang dijaminkan. Cuma, pembatasan semacam itu penting dalam kondisi normal. Sebaliknya, di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, James justru mendukung langkah MA mencabut SKMA No. 3 Tahun 2020. “Ya memang sebaiknya mengacu ke UU No. 37 Tahun 2004 karena itu adalah hukum positif. SKMA seharusnya tidak boleh melanggar ketentuan UU,” terangnya.

Tags:

Berita Terkait