5 Langkah Mitigasi Risiko Sebelum Dalilkan Force Majeur di Masa Covid-19
Utama

5 Langkah Mitigasi Risiko Sebelum Dalilkan Force Majeur di Masa Covid-19

Gegabah mengambil sikap, justru bisa berujung kekalahan saat sidang sengketa digelar di Pengadilan.

Oleh:
Hamalatul Qur’ani
Bacaan 2 Menit
Webinar kerjasama Hukumonline dan Guido Hidayanto & Partners mengenai force majeur. Foto: RES
Webinar kerjasama Hukumonline dan Guido Hidayanto & Partners mengenai force majeur. Foto: RES

Masih ada perbedaan pemahaman mengenai kapan kondisi yang tepat atau tidaknya menggunakan dalih force majeure di masa Covid-19. Gegabah mengambil sikap, justru bisa berujung kekalahan saat sidang sengketa digelar di Pengadilan. Sikap terpenting adalah mendapatkan kesepakatan para pihak terlebih dahulu jika tidak ingin persoalan berujung sengketa. Duduk bersama membahas opsi jalan keluar jauh lebih baik.

Apabila sengketa sudah tidak dapat dihindari, setidaknya pastikan setiap keputusan penggunaan dalil force majeure sudah melalui pertimbangan yang matang. Dengan begitu, setiap risiko yang muncul di kemudian hari sudah dapat diperkirakan sejak awal dan strategi menghadapinya sudah tersusun dengan baik. Lantas apa saja pertimbangannya?

Senior Partner dan partner pada Guido Hidayanto & Partners, Mohamad Kadri dan Bonie Guido membeberkan strategi mereka melalui webinar series yang digelar hukumonline pada Rabu, (6/5). Mereka menekankan, ada banyak hal yang harus di-challenge atau diuji sebelum para pihak memutuskan menggunakan pembatasan-pembatasan selama masa Covid-19 sebagai alasan force majeure. Berikut langkah-langkah pengujiannya.

  1. Periksa apakah kontrak-kontrak penting mengatur klausula force majeure

Ramai pelaku usaha ingin gunakan dalil force majeure (FM), namun ternyata klausula FM sendiri belum dicantumkan dalam kontrak. Mungkin juga klausul FM sudah dimasukkan, tapi peristiwa pandemi tidak dicantumkan sebagai bagian dari peristiwa force majeur. Bila hal ini terjadi, bisakah klausul FM dimasukkan dan diatur ulang dalam kontrak pasca peristiwa kahar itu terjadi (post factum)? (Baca juga: Akibat Hukum Force Majeur Menurut Pakar Hukum Perdata)

Terkait hal itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Hikmahanto Juwana dalam kesempatan yang sama berpandangan pencantuman klausula FM tetap bisa dilakukan baik sebelum (pre-factum) maupun setelah terjadinya peristiwa kahar (post-factum). Jika  sepakat tidak tercapai, sengketa mungkin tidak terelakkan. Akhirnya, debitur di satu sisi mengklaim terjadinya keadaan kahar, di sisi lain kreditur tetap menganggap debitur telah cidera janji (wanprestasi). “Kuncinya, kesepakatan para pihak,” tukasnya.

Ditambahkan Kadri, pasca peristiwa kahar terjadi, para pihak bisa bersandar pada asas iktikad baik untuk melakukan renegosiasi kontrak. Dalam kondisi yang serba sulit, sudah sepatutnya kreditur beriktikad baik untuk mau melakukan renegosiasi kontrak terhadap debitur yang kegiatan usahanya terdampak Covid-19. Salah satunya dengan memasukkan klausula FM berikut penyebutan pandemi Covid-19 sebagai suatu bencana non-alam jika hal ini belum diatur pada kontrak. Sebagai informasi, Kepres No. 12 Tahun 2020 yang menetapkan Covid-19 sebagai bencana non-alam juga bisa digunakan sebagai acuan hukum rumusan FM dalam kontrak. Adapun terkait prosedur beserta akibat hukum FM juga bisa diatur sendiri oleh para pihak didalam kontrak tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Lakukan selftest frequently ask question (FAQ) terhadap unsur-unsur FM

Cara selanjutnya yang dibagikan Kadri dan Bonie adalah cek exposure perusahaan terhadap unsur-unsur force majeure. Bila ditelisik, setidaknya ada tiga unsur penting alasan force majeure menurut KUHPerdata. Pertama, ada suatu kejadian yang tidak terduga. Kedua, kejadian tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan (sangat memaksa atau tidak sengaja). Ketiga, pihak-pihak tidak memiliki iktikad buruk. 

Tags:

Berita Terkait