Insentif Pajak, Covid-19 dan Jasa Profesional
Kolom

Insentif Pajak, Covid-19 dan Jasa Profesional

Aspek keadilan perlu direnungkan kembali sesuai dengan bobot kelayakan wajib pajak.

Bacaan 2 Menit
Januardo Sihombing. Foto: Istimewa
Januardo Sihombing. Foto: Istimewa

Pandemi Covid-19 telah mendorong Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 pada tanggal 27 April 2020 (PMK 44/2020). Sebagai informasi, PMK 44/2020 ini mencabut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/PMK.03/2020 (PMK 23/2020) yang diundangkan 37 hari sebelumnya.

Salah satu perbedaan paling mendasar dari keduanya bahwa PMK 23/2020 hanya memberikan insentif pajak pada sektor industri, di mana tidak ada satu jenis pun sektor usaha jasa yang diberikan insentif kecuali reparasi serta pemasangan. Sedangkan, PMK 44/2020 memperluas jangkauan pemberian insentif tersebut kepada perluasan sektor-sektor industri dan penambahan sektor-sektor usaha jasa tertentu.

Insentif pajak yang diberikan menurut PMK 44/2020 diklasifikasikan ke dalam 5 jenis yakni (i) Insentif PPh Pasal 21; (ii) Insentif PPh Final berdasarkan PP 23/2018; (iii) Insentif  PPh Pasal 22 Impor; (iv) Insentif Angsuran PPh Pasal 25; (v) Insentif PPN. Lampiran PMK tersebut mengatur wajib pajak mana saja yang berhak memperoleh, sebagai contohnya apabila kita ingin mengetahui siapa yang berhak atas fasilitas pengurangan PPh Pasal 25, maka Lampiran PMK akan menunjukkannya sesuai kriteria Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang tertera dalam informasi tabel.

Sudut Pandang Insentif Pajak

Tidak ada definisi yang diterima secara universal tentang pengertian dari insentif pajak (Timo Viherkenttä (1991). Namun menurut Dale Chua, keuntungan/benefit atas penerapan suatu kebijakan insentif pajak harus dijustifikasi terhadap biaya pemberlakuannya dan efeknya bagi kesejahteraan masyarakat (society). Dari perspektif pengusaha/pelaku bisnis, kebijakan insentif pajak merupakan hal yang diharapkan di mana pun mereka berada, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Dengan adanya insentif pajak, maka keuntungan wajib pajak atau pengusaha sebagai pelaku ekonomi bisa menjadi lebih besar.

Insentif pajak yang diberikan bisa berupa potongan, pembebasan atau penundaan pembayaran pajak sehingga aktivitas ekonomi dapat berkembang.Pemberian insentif pajak merupakan suatu kebijakan pemerintah (fungsi regulerend pajak), oleh karena itu, pilihan untuk memformulasikan kebijakan tersebut harus mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya.

Selain memiliki dampak positif, kebijakan insentif pajak juga dapat memiliki dampak negatif. Menurut Alex Easson dalam bukunya, Tax Incentives for Foreign Direct Investment, (Netherlands: Kluwer Law International, 2004) diuraikan bahwa dampak negatif tersebut diantaranya Insentif Pajak dipandang tidak memperhatikan konsep keadilan karena pemberian insentif pajak tidak diberlakukan bagi seluruh wajib pajak, melainkan hanya kepada sejumlah wajib pajak yang masuk dalam kategori pemberian insentif, sehingga pemberlakuan kebijakan ini mengesampingkan konsep keadilan.

Data Survei Terkini

Merujuk fakta survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan dilansir dari laman resmi LIPI ditemukan fakta survei lapangan bahwa korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mayoritas didominasi oleh Sektor Jasa. Adapun sebaran berdasarkan hasil survei dimaksud 32 % korban PHK berasal dari tenaga usaha jasa; 22% tenaga profesional/teknisi; 15% tenaga tata usaha; 13% tenaga produksi operator alat angkutan dan pekerja kasar; dan 9% tenaga usaha penjualan.

Tags:

Berita Terkait