Sejumlah Hal yang Perlu Diatur dalam Revisi UU MK
Utama

Sejumlah Hal yang Perlu Diatur dalam Revisi UU MK

Mulai mekanisme konstitusional komplain; pengaturan hukum acara dalam UU; hingga memperbaiki syarat dan proses seleksi calon hakim MK yang lebih transparan di tiga lembaga pengusul.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Rencana Revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang diajukan Baleg DPR menimbulkan pertanyaan publik. Sebab, substansi Revisi UU MK dinilai cacat prosedur dan sarat muatan politik karena diusulkan di masa darurat pandemi Covid-19 yang tengah melanda dunia termasuk Indonesia.

 

Sebelumnya, dalam draf RUU MK yang beredar di masyarakat setidaknya ada tiga ketentuan yang berubah. Misalnya, Pasal 4 draf RUU MK mengatur masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun yang mengubah pasal serupa dalam UU No. 8 Tahun 2011 yang menyebutkan masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU MK itu, syarat usia minimal calon hakim konstitusi diubah/dinaikkan dari 47 tahun menjadi 60 tahun tanpa batas usia maksimal.  

 

Selain itu, Pasal 87 huruf c RUU MK menghapus Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 terkait periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Dalam pasal itu, intinya usia pensiun hakim konstitusi hingga usia 70 tahun disamakan usia pensiun hakim agung.

 

Namun begitu, beberapa kalangan berpendapat revisi UU MK memang perlu dilakukan, tetapi bukan revisi UU MK yang ada seperti saat ini. Lantas apa saja yang seharusnya diubah dalam materi muatan revisi UU MK? (Baca Juga: Guru Besar Ini Sebut Substansi Revisi UU MK Cacat Prosedural)

 

Mantan Hakim Konsitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan sesungguhnya ada beberapa yang perlu diubah dalam revisi UU MK yang menjadi kebutuhan MK. Pertama, perlu memaksimalkan kewenangan MK dalam perlindungan hak konstitusional warga negara. “Ada kewenangan MK yang bersifat limitatif dalam perannya memberi perlindungan hak konstitusi warga negara,” kata Palguna dalam sebuah diskusi secara daring bertajuk “MK dalam Perbandingan: Analisis RUU MK”, Senin (11/5/2020).

 

Palguna menerangkan cakupan perlindungan hak konstitusional hanya melalui pengujian undang-undang, sehingga gagasan perlunya saluran konstitusional komplain bisa masuk dalam revisi UU MK. Setidaknya, bisa memberi penafsiran ekstensif bahwa pengujian UU termasuk didalamnya meliputi mekanisme konstitusional komplain.  

 

“Dengan memberi perluasan pengujian undang-undang, maka MK tidak hanya berwenang menguji norma pasal dalam UU, tapi juga menguji konstitusionalitas perbuatan/tindakan pejabat publik yang merugikan hak konstitusional warga negara,” kata dia.  

Tags:

Berita Terkait