Kisah Opticien Arrest, Keadaan Memaksa dalam Hukum Pidana
Utama

Kisah Opticien Arrest, Keadaan Memaksa dalam Hukum Pidana

Keadaan memaksa tak hanya dikenal dalam hukum perdata. Kisah di balik putusan ‘Opticien Arrest’ sangat relevan dengan kondisi PSBB saat ini. Di Indonesia, sudah ada beberapa putusan yang mengakomodasi alasan overmacht.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi keadaan memaksa dalam hukum pidana. Ilustrator: BAS
Ilustrasi keadaan memaksa dalam hukum pidana. Ilustrator: BAS

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membawa dampak yang signifikan terhadap aktivitas ekonomi. Puluhan hingga ratusan ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja. Tidak sedikit pengusaha yang tak dapat menjalankan kewajibannya tepat waktu. Walhasil, banyak orang mencari solusi dengan mendalilkan pembatasan dan kebijakan pemerintah dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 sebagai force majeur, atau keadaan memaksa, atau disebut juga kahar.

Dalam hukum pidana, keadaan memaksa juga dikenal, lazim disebut overmacht. Dasar hukumnya adalah Pasal 48 KUHP, yang menyebutkan “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Dalam bahasa Belanda, rumusannya adalah ‘niet strafbaar is bij die een feit begat waartoe bij door overmacht is gedrongen’. Tidaklah dapat dihukum, barangsiapa telah melakukan suatu perbuatan di bawah pengaruh dari suatu keadaan yang memaksa.

Pertanyaan yang paling mendasar: apa maksud ‘keadaan yang memaksa’ itu? Tidak ada penjelasan dalam KUHP. Beberapa kamus hukum mengartikan ‘overmacht’ sebagai daya paksa, adikuasa (Asis Safioedin ‘Daftar Kata Sederhana tentang Hukum); dan Yudha Pandu (‘Kamus Hukum’). ‘Overmacht’ disamaartikan dengan ‘force majeur, keadaan memaksa’. Subekti dan Tjitrosudibio (Kamus Hukum) dan Subrata dan Kubung (Kamus Hukum Internasional dan Indonesia) menyinggung Pasal 48 KUHP dan konsep force majeur dalam hukum perdata ketika menerjemahkan overmacht.

(Baca juga: Tentang Overmacht dan Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remedium).

Buku ‘Peristilahan Hukum dalam Praktek’ yang diterbitkan Kejaksaan Agung (1985) mengartikan overmacht sebagai ‘keadaan memaksa, suatu keadaan/kejadian yang tidak dapat dihindarkan dan terjadi di luar dugaan/kekuasaan seseorang’. Pengertian leksikal ini belum memberikan kejelasan tentang overmacht dan unsur-unsurnya.

Dalam buku KUHP, baik yang disusun R. Soesilo (versi 1994) maupun R. Sugandhi (versi 2013), dijelaskan bahwa lema ‘terpaksa’ dalam rumusan Pasal 48 tadi harus diartikan sebagai paksaan lahir dan batin, paksaan jasmani dan rohani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin ditentang.

Mengutip pandangan J.E Jonkers, Soesilo dan Sugandhi menyebutkan tiga jenis kekuasaan dalam kaitannya dengan overmacht. Pertama, yang bersifat mutlak. Seseorang tidak dapat berbuat lain, tidak dapat mengelak, tidak dapat memilih jalan lain. Misalnya, seseorang didorong orang yang lebih kuat tenaganya sehingga membentur kaca dan menyebabkan kaca pecah. Orang yang dilempar bisa terancam pidana karena merusak barang milik orang lain. Tetapi dalam peristiwa semacam itu bisa dipahami bahwa orang yang dilempar tidak dapat dihukum.

Kedua, yang bersifat relatif. Kekuasaan atau kekuatan yang memaksa seseorang tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa mempunyai kesempatan untuk memilih mana yang harus dilakukan. Contohnya, seseorang yang dipaksa membakar rumah di bawah ancaman senjata tajam.

Tags:

Berita Terkait