Giliran Aturan Eksekusi Hak Tanggungan Dipersoalkan di MK
Berita

Giliran Aturan Eksekusi Hak Tanggungan Dipersoalkan di MK

Majelis meminta para pemohon memperjelas kerugian konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan dalam uraian kasus konkrit.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) terkait cidera janji (wanprestasi) dalam eksekusi hak tanggungan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan (kreditur). Sidang yang dihadiri Inri Januar (Pemohon I), Oktoriusmas Halawa (Pemohon II), dan Eliadi Hulu (Pemohon III) ini menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

“Untuk menghindari pemahaman keliru di masyarakat, Mahkamah memberi pilihan kepada para pihak baik pemohon, kuasa pemohon, pemerintah, ahli, saksi untuk hadir secara langsung di ruang sidang atau menggunakan fasilitas jaringan/daring (online) di kediaman masing-masing. Para pihak dapat mengajukan permohonan persidangan secara daring ke MK sekurang-kurangnya dua hari sebelum persidangan digelar,” ujar Ketua Majelis Panel Suhartoyo didampingi Wahiduddin Adams dan Manahan MP Sitompul, Selasa (12/5/2020) seperti dilansir situs MK.

Para pemohon menilai kedua pasal itu hanya memberi jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap pemegang hak tanggungan (kreditur bank) dengan menyamakan kekuatan eksekusi sertifikat hak tanggungan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). “Para pemohon suatu waktu dapat menjadi pemberi hak tanggungan atas hunian atau rumah yang merupakan kebutuhan dasar atau primer, potensial dirugikan hak konstitusionalnya,” ujar satu pemohon, Eliadi Hulu dalam persidangan.

Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan

Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada atau (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan

Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan

a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan mendahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya.”

Eliadi menegaskan pasal-pasal itu hanya berfokus pada pemberian kepastian hukum kepada kreditur. Sebab, kreditur dapat melakukan eksekusi objek hak tanggungan secara serta-merta (otomatis) apabila pemberi hak tanggungan (debitur) mengalami cidera janji tanpa mempertimbangkan sebab musabab debitur cidera janji. (Baca Juga: Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Sulit? Begini Solusi yang Ditawarkan)

“Pasal-pasal itu, khususnya sepanjang frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta frasa ‘cidera janji’ telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi debitur, sehingga bertentangan dengan UUD Tahun 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat 8 (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945,” jelas Eliadi.

Dalam permohonannya, para pemohon mengutip pendapat J. Satrio yang menyatakan debitur dikatakan cidera janji apabila tidak memenuhi kewajiban perikatan dan adanya unsur kesalahan. Apabila debitur tersebut tidak memiliki unsur kesalahan, maka ia tidak dapat dikatakan telah wanprestasi atau mengalami cidera janji. Salah satu kriteria kategori ini adalah ketika debitur mengalami keadaan memaksa yang hanya dapat dibuktikan melalui pengadilan.

Tags:

Berita Terkait