Ada Kekhasan Pembuktian dalam Pemeriksaan Pelanggaran Etika Hakim
Berita

Ada Kekhasan Pembuktian dalam Pemeriksaan Pelanggaran Etika Hakim

Meskipun berbeda dengan sistem pembuktian perdata dan pidana, Komisi Yudisial tetap menganut negative wettelijk stelsel.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Diskusi webinar peluncuran buku Farid Wajdi dkk tentang pengawasan hakim di Komisi Yudisial. Foto: MYS
Diskusi webinar peluncuran buku Farid Wajdi dkk tentang pengawasan hakim di Komisi Yudisial. Foto: MYS

Ribuan laporan masuk setiap tahun ke Komisi Yudisial. Jenis informasi yang disampaikan beragam, tidak melulu mengenai dugaan pelanggaran etik oleh hakim. Laporan itu dipilah-pilah untuk kemudian ditentukan mana yang menjadi tugas dan kewenangan Komisi Yudisial. Sesuai Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial juga berwenang menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Laporan dari masyarakat merupakan salah satu bahan pengawasan hakim. Tetapi Komisi Yudisial juga dapat proaktif melakukan pengawasan langsung, kemudian melakukan pemeriksaan jika ada hakim yang diduga melanggar kode etik. Komisi Yudisial sudah memiliki instrumen hukum untuk memproses pengaduan yang masuk, yakni Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat.

Dalam penanganan laporan itulah ada proses pembuktian yang khas. Artinya, ada perbedaan dibandingkan proses pembuktian pada umumnya di sidang pengadilan. Komisioner Komisi Yudisial, Farid Wajdi, mengatakan persidangan etik di Komisi Yudisial bersifat inkuisitorial seperti halnya sidang profesi tertentu. Ketua dan anggota Komisi Yudisiall bersikap aktif melakukan pemeriksaan tanpa ada badan atau perorangan yang bertindak sebagai penuntut.

Komisi Yudisial bertindak melakukan pemeriksaan, mengajukan orang yang diduga melanggar etik ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH), sekaligus menjadi bagian dari MKH. “Persidangan etik secara formil tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana atau perdata. Namun, tetap berupaya melakukan pembuktian yang mendekati pembuktian di persidangan hukum," jelas Farid dalam diskusi webinar ‘Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial, Selasa (12/5). Diskusi ini sekaligus peluncuran buku berjudul sama yang ditulis Farid dan dua koleganya di Komisi Yudisial.

(Baca juga: Meneropong Penegakan Kode Etik Hakim dari Kramat Raya 57).

Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus, mengatakan penegakan kode etik sangat penting karena jika etika dijalankan aparat penegak hukum dengan baik maka penegakan hukum juga akan baik. “Kalau hakim dan aparatur pengadilan lainnya menjunjung tinggi etika, problem penegakan hukum dapat diatasi,” ujarnya.

Proses beracara di pengadilan salah satu yang krusial dalam penegakan etik hakim, terutama ketika berlangsung pembuktian. Pada umumnya, dalam hukum berlaku prinsip siapa mendalilkan dia yang harus membuktikan, point d’interet point d’action, yang lazim dikenal juga dengan actori incumbit onus prabandi. Ini diatur dalam Pasal 163 HIR/283 HIR. Jika Penggugat mendalilkan orang cidera janji, maka ia berkewajiban membuktikan dugaan itu. Sebaliknya, orang yang diduga cidera janji juga berkewajiban membuktikan jika ia menyanggah tudingan itu.

Pasal 1865 BW (KUH Perdata) mengatur prinsip tersebut: “Barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barangsiapa mengajukan peristiwa untuk membantah hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa itu“. Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti yang dapat diajukan adalah bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Tags:

Berita Terkait