Ragam Masalah Hukum yang Dialami ABK Indonesia
Berita

Ragam Masalah Hukum yang Dialami ABK Indonesia

Isu-isu pelanggaran yang terjadi berkutat di hal yang sama, seperti permasalahan gaji yang tidak dibayarkan, keadaan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak memenuhi standar, serta meninggalnya ABK Kapal.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: RES
Foto ilustrasi: RES

Permasalahan anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) beberapa waktu lalu mengundang perhatian masyarakat. Abdul Rahmat adalah penyintas sebagai mantan ABK. Dalam diskusi FGD Webinar berjudul “Kejahatan Perbudakan Dalam Industri Perikanan: Kompleksitas Respon Dalam Hukum”, yang di laksanakan oleh Center for Sustainable Ocean Policy (CSOP), Rabu (13/5), dia menceritakan pengalamannya ketika menjadi ABK, mulai dari rekrutmen hingga kembali ke Tanah Air.

Dia mengatakan pada awalnya agen yang merekrut ABK terlihat resmi dengan bangunan yang layak. Namun, izin yang mereka miliki ternyata tidak sesuai untuk menjadi agen penyalur Pekerja Migran Indonesia. Menurutnya, pengupahan yang menurut kontrak seharusnya diberikan di atas kapal tidak pernah diberikan. Setelah selesai menangkap ikan, ABK ditelantarkan di Pantai Gading, dan dengan keberuntungan bertemu dengan orang Indonesia lain, akhirnya para ABK Indonesia dapat dihubungkan dengan KBRI di Senegal. Dia berharap ke depannya Pemerintah dapat lebih aktif lagi di dalam menangani kasus serupa.

“Mereka kembali ke tanah air tanpa upah mereka. Tidak ada kelanjutan dari terkait kejelasan pengupahan dari pemerintah Indonesia,” katanya.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI), Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan secara umum ada beberapa permasalahan yang bisa diidentifikasikan dalam peristiwa pelarungan ABK Indonesia di Kapal RRT. (Baca: Mendorong Pembenahan Tata Kelola Penempatan dan Perlindungan ABK)

Beberapa akar permasalahan tersebut antara lain: Pertama, masalah gaji. Menurutnya, banyak ABK yang tidak menerima gaji atau menerima, namun dalam jumlah kurang. Kedua, lingkungan kerja yang tidak layak. Ketiga, kontrak kerja yang tidak tersosialisasikan dengan baik sehingga menimbulkan kecacatan dalam kontrak.

Keempat, keamanan dan keselamatan para ABK. Contohnya, banyak ABK yang jarinya putus karena tidak di lengkapi dan tidak memakai alat pengaman saat hendak bekerja. Kelima, ketidakjelasan mengenai Asuransi. Keenam, permasalahan pola perekrutan (Agen dengan izin dari kemenhub, Agen dengan izin dari Kementerian Ketenagakerjaan, dan Agen dengan izin dari BNP2TKI).

Deputi Perlindungan BP2MI Anjar Prihantoro berpendapat ada beberapa kerangka hukum yang dapat di terapkan dalam kejadian ini. Adapun hukum yang dimaksud tersebut adalah: a) Konvensi ILO No.188 2007. b) Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penilaian dan Penetapan Mitra Usaha dan Pengguna Perseorangan. c) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan. d) Peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia No.12 Tahun 2013.

Tags:

Berita Terkait