Waspadai 4 Potensi Penyimpangan Anggaran Covid-19 di Desa
Berita

Waspadai 4 Potensi Penyimpangan Anggaran Covid-19 di Desa

Peraturan yang sering berubah menjadi hambatan buat desa.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Pada awal Maret lalu, Menteri Desa dan PDTT mendatangi KPK untuk membahas penggunaan dana desa. Kini, Pemerintah mengizinkan dana desa digunakan untuk pencegahan Covid-19. Foto: RES
Pada awal Maret lalu, Menteri Desa dan PDTT mendatangi KPK untuk membahas penggunaan dana desa. Kini, Pemerintah mengizinkan dana desa digunakan untuk pencegahan Covid-19. Foto: RES

Untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran Corona Virus Disease Tahun 2019 (Covid-19) di dea-desa, Pemerintah mengizinkan alokasi dana desa. Sejumlah peraturan diterbitkan Pemerintah untuk memberikan lampu hijau atas pengalihan dana desa untuk Covid-19, misalnya Peraturan Menteri Keuangan No. 40/PMK.07/2020 tentang Perubahan Atas PMK No. 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa, dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permendes PDTT No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.

Sejumlah pihak sudah mengingatkan sejak awal agar penggunaan dana desa untuk Covid-19 dilakukan secara akuntabel dan transparan. Tidak kurang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian mewanti-wanti sejak awal agar anggaran yang dialihkan untuk Covid-19, termasuk dana desa, tidak disalahgunakan. KPK, misalnya, menerbitkan Surat Edaran No. 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Kesejahteraan Sosial DTKS dan Data Non-DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial kepada Masyarakat.

Potensi penyimpangan dana desa bukan tidak ada. Berdasarkan kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi Riau, setidaknya ada empat potensi penyimpangan anggaran di pedesaan, baik dana yang berasal dari provinsi dan kabupaten/kota maupun yang datang dari APBN seperti dana desa.

FITRA Riau meminta agar penggunaan dana desa dilakukan secara transparan. “Jika transparan, gejolak sosial seperti yang sekarang (kasus bansos—red) dapat dicegah,” ujar Wakil Ketua FITRA Riau, Tarmizi, dalam diskusi daring ‘Mencegah Korupsi Dana Desa untuk Covid-19’, Senin (18/5).

(Lihat juga: Kementerian Desa dan PDTT dan KPK Koordinasi Soal Aliran Dana Desa).

Tarmizi menyebut empat potensi penyimpangan yang mungkin terjadi. Pertama, data tidak diperbarui dan tidak tervalidasi antara pusat, daerah, dan desa. Ini dapat dilihat pada beberapa kasus gejolak sosial akibat di satu sisi ada warga yang tidak mendapatkan bantuan sosial, sedangkan di sisi lain ada pejabat desa dan kecamatan yang masuk daftar penerima bantuan. Selain itu, ada warga yang sudah meninggal dunia tetapi masih terdaftar sebagai penerima bantuan. Data yang tidak dimutakhirkan berpotensi membuka ruang penyimpangan.

Kedua, besaran bantuan tidak sesuai dengan yang ditetapkan dalam perundang-undangan. Sesuai PMK No. 40/PMK.07/2020, warga mendapatkan bantuan langsung tunai sebesar 600 ribu per bulan selama tiga bulan. Besaran yang diperoleh setiap kepala keluarga yang berhak sangat mungkin tak sesuai di lapangan, apalagi jika pengawasan tidak dilakukan secara ketat.

Ketiga, pungutan liar dilakukan oknum yang membagikan bantuan. Alasan yang sering digunakan adalah biaya administrasi. Posisi penerima bantuan acapkali dilematis, jika mempersoalkan ‘biaya administrasi, ia khawatir tidak akan mendapatkan bantuan lagi.

Tags:

Berita Terkait