Beragam Pintu Masuk untuk Menjerat Pelaku Perundungan
Berita

Beragam Pintu Masuk untuk Menjerat Pelaku Perundungan

Pelaku perundungan dapat berubah menjadi korban cyberbullying.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Daddy Fahmanadie, dosen FH Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dalam diskusi daring tentang bullying. Foto: MYS
Daddy Fahmanadie, dosen FH Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dalam diskusi daring tentang bullying. Foto: MYS

Perundungan (bullying) masih terus terjadi meskipun acapkali pelaku perundungan mendapat kecaman dari masyarakat, bahkan dihukum pengadilan. Kasus terbaru adalah perundungan RZ, seorang anak penjual jalangkote berusia 12 tahun, di Kelurahan Bonto-bonto Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Sebelumnya perundungan juga terjadi di sejumlah tempat. Perundungan paling massif terjadi di media sosial (cyberbullying).

Dua akademisi hukum pidana, Rena Yulia dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, dan Daddy Fahmanadie dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, berpendapat bahwa ada banyak pasal dalam perundang-undangan berbeda yang dapat dipergunakan penyidik untuk menjerat pelaku perundungan. Jika pelaku dan korban adalah anak-anak, penyidik dapat menggunakan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jika pelakunya orang dewasa dan korbannya dianiaya secara fisik, polisi dapat menggunakan Pasal 170 atau 351 KUHP.

Di Bali, Pengadilan Negeri Semarapura pernah menghukum tiga siswi pelaku perundungan menggunakan UU Perlindungan Anak. Para pelaku dihukum 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun, plus tidak boleh meninggalkan Bali selama satu bulan. Sementara, jika yang terjadi adalah cyberbullying aparat penegak hukum menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE).

Bahkan dalam kasus perundungan anak penjual jalangkote di Pangkep, Dedy, nama panggilan Daddy Fahmanadie, berpendapat penyidik dapat menggunakan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. “Bisa menggunakan Pasal 145 UU Penyandang Disabilitas,” kata Dedy dalam diskusi daring ‘Bullying Viral Tanda Degradasi Moral’, Kamis (21/5) kemarin.

Pasal 145 UU Penyandang Disabilitas menegaskan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah bagi siapapun yang menghalang-halangi atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak-hak yang disebut dalam Pasal 143 (hak pendidikan, hak pekerjaan, hak bebas dari penyiksaan, dan lain-lain).

(Baca juga: Mengenal Carl’s Law, Dasar Memperberat Vonis Pelaku Kejahatan).

Korban perundungan, RZ, ternyata adalah seorang penyandang disabilitas. Itu sebabnya Dedy mengatakan tidak ada salahnya menggunakan UU Penyandang Disabilitas. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, status korban sebagai penyandang disabilitas dapat digunakan sebagai dasar memperberat hukuman kepada pelaku. Di Amerika Serikat, dikenal Carl’s Law, yang mengatur hukuman kepada pelaku diperberat jika korbannya penyandang disabilitas.

Di Indonesia, sudah ada beberapa putusan pengadilan yang mengakomodasi faktor pemberat hukuman ini. Salah satu contoh adalah putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Donggala yang menghukum pelaku perkosaan (S) terhadap korban penyandang disabilitas 15 tahun penjara, lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Pengadilan Tinggi hanya mengoreksi redaksional putusan, tetapi tidak mengubah lamanya hukuman. Pada Mei 2009, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari terdakwa.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait