KPPU Sebut Kebijakan Penetapan Harga Gula Tidak Tepat
Berita

KPPU Sebut Kebijakan Penetapan Harga Gula Tidak Tepat

Ide menaikan HET tidak menyentuh substansi persoalan. Pelaku usaha petani rakyat tidak pada bagian yang paling menikmati. Kenaikan ini justru paling dinikmati pelaku usaha besar nasional dan pelaku usaha importer karena adanya selisih harga yang begitu besar.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini tengah melakukan penelitian terkait mahalnya harga gula. Salah satu hasilnya adalah adanya persoalan tingginya harga gula pasir atau gula konsumsi nasional dari dua sisi, yakni kinerja sektor dan perilaku pelaku usahanya.

Kinerja sektor ini terkait dengan faktor-faktor pembentuk harga seperti produksi, penyimpanan, dan distribusi. Sedangkan perilaku pelaku usaha terkait bagaimana para pelaku usaha berinteraksi dalam melakukan kegiatan usahanya. "Kedua sisi ini tentunya dapat saling terkait. Perilaku pelaku usaha ditangani dalam suatu proses penegakan hukum yang tengah berjalan. Sementara kinerja sektor ditangani dalam suatu proses kajian atau penelitian," kata Komisioner KPPU, Guntur Saragih, Rabu (20/5).

Menurut Guntur, Indonesia membutuhkan gula konsumsi sekitar 3 juta ton/tahun. Dari total jumlah ini, sebesar 73% atau sekitar 2,1 juta hingga 2,2 juta ton kebutuhan gula dipenuhi oleh produksi dalam negeri, sementara sisanya dari impor. Pasokan tersebut dilakukan oleh 24 (dua puluh empat) pelaku usaha dengan total kepemilikan 58 (lima puluh delapan) pabrik gula.

Dari jumlah produksi dalam negeri tersebut, hingga 36%-nya dipenuhi oleh pabrik gula swasta yang memperoleh tebu dari perkebunan gula rakyat. Sementara sisanya atau sekitar 800 ribu hingga 900 ribu ton, dipenuhi melalui impor baik dalam bentuk raw sugar atau gula kristal putih. 

Dengan kecenderungan pasar yang oligopolistik, lanjut Guntur, pemenuhan pasokan dan distribusi gula dilakukan oleh beberapa pelaku usaha, baik berupa Badan Usaha Milik Negara atau pun pelaku usaha swasta. Di sisi lain, kemampuan bersaing produsen gula di Indonesia ditentukan oleh kemampuannya dalam efisiensi berproduksi. Dalam artian, sejauh mana produsen gula mampu memproduksi dengan harga pokok yang terbaik. 

Untuk saat ini, kemampuan tersebut masih berbeda-beda. Penelitian di KPPU menemukan bahwa pelaku usaha swasta yang memiliki lahan perkebunan sendiri disebut lebih efisien dan mampu memproduksi dengan harga pokok yang berkisar antara Rp6.000 hingga Rp9.000 per kilogram. Sementara harga pokok produksi petani tebu yang bermitra dengan pabrik gula, berdasarkan informasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) adalah sekitar Rp12.000 hingga Rp14.000, yang notabene dapat berada di atas harga acuan penjualan. 

Tingginya harga pokok produksi petani tebu tersebut dinilai mengurangi kemampuan gula petani dalam berkompetisi dengan gula hasil produsen gula yang efisien. Di sisi lain, pelaku usaha yang efisien lebih diuntungkan dengan keberadaan harga acuan penjualan yang ditetapkan Pemerintah (yakni Rp12.500/kg). (Baca: KPPU Tingkatkan Status Pengawasan Gula Pasir ke Penegakan Hukum)

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait