Menilik Peraturan BKPM Soal Investasi Minimum & Premium PT PMA
Kolom

Menilik Peraturan BKPM Soal Investasi Minimum & Premium PT PMA

Menggunakan modal minimum untuk PMA atau yang lain sebagai alat untuk melindungi UMKM adalah upaya menyederhanakan permasalahan absennya kebijakan yang lebih berpihak pada UMKM.

Bacaan 2 Menit
Ahmad Fikri Assegaf. Foto: RES
Ahmad Fikri Assegaf. Foto: RES

Sejak masa kuliah sampai kemudian mengajar Hukum Investasi dan bekerja sebagai konsultan hukum, saya cukup sering berkunjung ke kantor BKPM. Cukup banyak pengalaman menarik dari hasil bolak balik tersebut. Dari semua pengalaman, beberapa di antaranya tidak mudah dilupakan.

Menurut pengamatan, BKPM sebagaimana lembaga pemerintah lainnya, sangat terpaku pada proses formulir baku yang seringkali tidak begitu jelas dasar ataupun asal-usulnya. Sering kali sesuatu terus dilaksanakan sebagai kebijakan karena hal itu sudah sejak lama diterapkan. Perubahan tersebut sering dianggap dapat membawa risiko.

Dalam kondisi wabah Corona, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyatakan realisasi investasi asing kuartal 1 2020 turun 9.2% dan beliau pesimis bahwa target investasi tahun ini sebesar Rp886triliun akan tercapai. Ini adalah saat yang tepat bagi BKPM untuk kembali melakukan evaluasi atas berbagai aturan serta proses investasinya. Walaupun cukup banyak kemajuan yang kita capai dengan Online Submission System (OSS), namun ruang untuk perbaikan masih amat sangat luas. Jika inisiatif perbaikan ini tidak diambil, kesempatan merebut investasi ditengah pasar yang menurun drastis akan semakin meredup.

Dalam tulisan ini akan bercerita dua masalah yang pernah saya diskusikan dengan staf dan pejabat BKPM. Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan ketentuan investasi kita. Pertama adalah soal Nilai Investasi Minimum (NIM) untuk Penanaman Modal Asing (PMA). Walaupun interaksi saya khusus menyangkut NIM usaha restoran, yang akan dibahas di sini adalah pertanyaan soal modal dan investasi minimum PMA secara umum.

Diskusi saya dan kolega dengan staf BKPM soal NIM restoran ini berlangsung lebih dari satu jam. Pada saat itu “berlaku” ketentuan tidak tertulis mensyaratkan NIM restoran sejumlah Rp10 miliar berlaku untuk setiap outlet, bukan per perusahaan. Terus terang kami merasa ketentuan tersebut tidak berdasar dan aneh. Sebab tidak banyak jenis restoran yang satu outletnya membutuhkan investasi lebih dari Rp10 miliar. Pertemuan itu adalah usaha kami untuk meminta kejelasan sekaligus mencoba meyakinkan bahwa ketentuan tersebut tidak pas. Alhasil kami gagal meyakinkan mereka. Salah satu alasan yang tampaknya paling dipegang adalah modal minimum dan NIM sengaja diatur tinggi guna melindungi UMKM dari PMA.

Kedua adalah diskusi yang terjadi beberapa tahun lalu, mengenai apakah “premium” (selisih antara nilai investasi dengan total nilai nominal yang diambil oleh investor) dapat dicatat sebagai bagian dari modal dan NIM. Diskusi berlangsung beberapa ronde mulai dari staf kemudian sampai pada pejabat BKPM yang lebih tinggi. Hasil diskusi itu? BKPM tetap pada pandangan premium adalah treatment akuntansi dan tidak bisa dicatat sebagai bagian penyertaan modal PMA. Fast forward ke era OSS yang menurut Saya secara suatu terobosan hebat dalam proses investasi, permasalahan modal/investasi minimum dan premium masih juga ada.

Syarat Modal Minimum BKPM Jauh di Atas Standar ASEAN

Berdasarkan ketentuan BKPM setiap PMA diwajibkan memiliki modal ditempatkan paling sedikit Rp2,5 miliar dan dalam waktu satu tahun sejak izin diberikan seluruh nilai investasi (dengan memperhitungkan modal dan pinjaman) harus lebih besar dari Rp10 miliar (NIM).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait