5 Masalah Hukum dalam Putusan-Putusan Sengketa Wakaf
Lipsus Lebaran 2020

5 Masalah Hukum dalam Putusan-Putusan Sengketa Wakaf

Putusan pengadilan mengakomodasi keinginan untuk mengelola harta wakaf lebih produktif.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES

Pernahkah melihat tulisan wakaf di atas lahan berdirinya masjid, sekolah pendidikan Islam, atau di lahan pekuburan? Wakaf adalah perbuatan seseorang menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dikelola nazhir dan dimanfaatkan untuk sementara waktu atau selamanya demi kepentingan ibadah atau kesejahteraan umum. Wakaf adalah pranata yang lebih dikenal dalam Islam tetapi sudah dipositivisasi ke dalam hukum nasional.

Jika terjadi sengketa mengenai harta yang sudah diwakafkan itu, maka gugatannya diajukan ke Pengadilan Agama yang berwenang. Ini sejalan dengan ketentuan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 50 Tahun 2009.

Sebenarnya, hukum memungkinkan penyelesaian sengketa wakaf diselesaikan di luar pengadilan. Pasal 62 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf malah mendahulukan penyelesaian lewat musyawarah mufakat. Penyelesaian lewat lembaga di luar pengadilan, seperti mediasi dan arbitrase, pun dimungkinkan. Bisa jadi, banyak yang diselesaikan secara internal oleh para pemuka agama karena sengketa mengenai wakaf dianggap sesuatu yang memalukan.

Faktanya, jumlah sengketa wakaf yang masuk ke pengadilan, apalagi hingga ke Mahkamah Agung, terhitung dengan jari. Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2016 misalnya, tercatat hanya 3 perkara wakaf yang sampai ke kasasi, dan tidak ada yang sampai Peninjauan Kembali. Angka itu jauh di bawah perkara lain di kamar agama, semisal perceraian. Dua tahun kemudian, Laporan Tahun 2018 memperlihatkan ada 8 perkara kasasi berkaitan dengan wakaf, dan semuanya putus pada tahun berjalan.

Dari sedikit perkara yang masuk, ada beberapa masalah hukum yang menarik. Hukumonline berusaha merangkum beberapa berdasarkan penelusuran pada salinan putusan yang tersedia. (Baca juga: Optimalisasi Zakat dan Wakaf di Tengah Wabah Covid-19)

  1. Nazhir tidak cakap (prosedural vs keadilan)

Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari pewakaf (wakif) untuk dikelola dan dikembangkan sesuai peruntukan. Jadi, tugas nazhir bukan hanya administrasi wakaf, tetapi juga mengelola asset wakaf agar berkembang dan produktif. Jika nazhir tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia dapat diganti. Wakif atau ahli warisnya dapat meminta penggantian nazhir jika nazhir bersangkutan tidak cakap menjalankan tugas-tugasnya.

Kaidah hukum ini dapat dibaca dalam putusan Mahkamah Agung No. 460K/AG/2019 tertanggal 26 Juni 2019. Dalam pertimbangannya, majelis hakim kasasi menyatakan bahwa sejak ikrar wakaf diucapkan wakif, maka sejak itulah timbul kewajiban nazhir untuk memanfaatkan harta wakaf sesuai tujuan. Majelis hakim kasasi menganggap Pengadilan Tinggi Agama Samarinda salah menerapkan hukum. Dasar permohonan para penggugat untuk membatalkan Akta Ikrar Wakaf adalah karena nazhir dipandang tidak cakap dan lalai dalam memanfaatkan harta wakaf, sehingga wakif bermaksud mengganti nazhir agar harta wakaf memberikan manfaat. Selama 28 tahun sejak diwakafkan, tanah wakaf tak dapat dimanfaatkan oleh nazhir, dan itu sebabnya majelis menilai penggantian nazhir dapat diterima.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait