Tanggung Jawab Bandara dan Maskapai Penerbangan di Tengah Pandemi
Kolom

Tanggung Jawab Bandara dan Maskapai Penerbangan di Tengah Pandemi

Operator bandara akan diuji ketika PSBB mulai dilonggarkan.

Bacaan 2 Menit
Tanggung Jawab Bandara dan Maskapai Penerbangan di Tengah Pandemi
Hukumonline

Hingga Mei ini pandemi berskala global yang telah menelan banyak korban jiwa belum menunjukkan tanda akan berakhir. Indonesia sendiri telah mengeluarkan serangkaian kebijakan guna mengurangi penyebaran pandemi, salah satunya dengan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengeluarkan Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada 6 Mei 2020. Surat edaran tersebut bertujuan meningkatkan keberhasilan pelaksanaan PSBB selama bulan Ramadhan.

Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2020 telah berlaku sebelumnya sejak 23 April. Tujuannya serupa, yaitu mengendalikan pelaksanaan transportasi guna mencegah penyebaran pandemi. Menjamin kesehatan warga negara merupakan prioritas. Pada saat bersamaan, hak atas transportasi ditengah keberlakuan PSBB tetap terjamin walau sangat dibatasi.

Berbicara negara kepulauan, maskapai penerbangan dan operator bandara hadir sebagai pemersatu. Keefektifan waktu perjalanan dan tingginya tingkat keselamatan moda transportasi udara melatarbelakangi pilihan masyarakat untuk tetap terbang. Moda transportasi alternatif belum tentu mampu mengimbangi.

Sempat berhenti sejenak, kini Pemerintah mengizinkan maskapai nasional kembali menerbangi rute domestik maupun internasional. Garuda Indonesia memulainya pada 7 Mei, kemudian Citilink dan Lion Air menyusul. Termuat syarat ketat bagi penumpang untuk membeli tiket dan dapat diangkut. Rute dan frekuensi penerbangan terbatas. Kebijakan yang mengizinkan penerbangan berjadwal (scheduled flight) kembali berlangsung merupakan salah satu upaya pemulihan industri penerbangan nasional. PHK berupaya dihindari atau diminimalisir. Terlepas polemik pro dan kontra tercipta, hukum udara berpotensi terpicu ditengah pandemi.

Permenhub No. 25 Tahun 2020 secara khusus mengecualikan penerbangan kargo dan repatriasi agar tetap dapat beroperasi. Keduanya tidak akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan ini. Hukum udara privat menegaskan maskapai penerbangan sebagai pihak paling bertanggung jawab (liable) terhadap keselamatan penumpang. Rezim Warsaw Convention of 1929 dan Montreal Convention of 1999 menciptakan model yang diterima dunia. Indonesia sendiri telah meratifikasi keduanya.

Pasal 17 ayat (1) Montreal Convention of 1999 (Convention for the Unification of Certain Rules for International Carriage by Air), “The carrier is liable for damage sustained in case of death or bodily injury of a passenger upon condition only that the accident which caused the death or injury took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking.”

Bodily injury atau cedera fisik yang dimaksud mensyaratkan terjadinya kontak fisik dengan penumpang. Beberapa kasus yang lazim terjadi dalam kondisi normal diantaranya penumpang cedera akibat tertimpa bagasi kabin atau ketumpahan minuman panas saat disungguhkan kru pesawat. Termasuk pula kasus penumpang jatuh terpeleset ketika melintasi garbarata. Maskapai penerbangan bertanggung jawab mutlak terhadap keadaan penumpang. Hal ini berlaku terlepas ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian (negligence) kru pesawat beserta pihak lain yang ditunjuk sebagai agennya.

Tags:

Berita Terkait