Mengenal Skema Restrukturisasi Industri Fintech
Berita

Mengenal Skema Restrukturisasi Industri Fintech

Meski tidak berwenang merestrukturisasi, perusahaan fintech p2p diimbau memfasilitasi permohonan restrukturisasi debitur terdampak Covid-19.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Diskusi daring Hukumonline soal Tantangan Industri Fintech di Tengah Pandemi Covid-19. Foto: RES
Diskusi daring Hukumonline soal Tantangan Industri Fintech di Tengah Pandemi Covid-19. Foto: RES

Pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) menyebabkan industri jasa keuangan termasuk financial technology peer to peer lending (fintech p2p) atau pinjaman online tertekan. Meningkatnya risiko pinjaman bermasalah menjadi salah satu persoalan saat ini. Sehingga, perlu ada upaya restrukturisasi untuk para peminjam atau borrower terdampak pandemi Covid-19 sehingga mengurangi bahkan kehilangan kemampuan membayar utang tersebut.

Skema restrukturisasi industri fintech p2p ini mendapat perhatian karena memiliki perbedaan gaya bisnis dibandingkan perbankan dan perusahaan pembiayaan. Perbedaan paling mendasar antara perbankan, perusahaan pembiayaan dan fintech yaitu sumber dana. Umumnya, fintech p2p sumber dananya berasal dari investor. Sehingga, perusahaan fintech bertindak menghubungkan antara pemilik dana dengan peminjam. Kemudian, risiko penyaluran pinjaman juga ditanggung oleh investor.

Lantas, bagaimana mekanisme restrukturisasi pada perusahaan fintech tersebut? Sebab, perusahaan fintech p2p sebagai penyelenggara platform tidak memiliki kewenangan memberi restrukturisasi pinjaman.

Meski demikian, platform p2p ini dapat memfasilitasi restrukturisasi pinjaman dengan cara memberi penilaian dan analisa kelayakan atas permintaan restrukturisasi pinjaman. Nantinya, hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada investor untuk memberi persetujuan restruktrisasi. (Baca: Tantangan Industri Fintech, dari Risiko TPPU Hingga Kualitas SDM)

Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendrikus Passagi menyatakan pihaknya tidak dapat menginstruksikan perusahaan fintech memberi restrukturisasi kepada peminjam. Hal ini karena perusahaan fintech tersebut bukan pemilik modal dari pinjaman tersebut.

“OJK tidak dapat keluarkan aturan agar penyelenggara keluarkan restrukturisasi pinjaman karena hanya sebagai platform. Borrower dan lender tidak ada yang bisa intervensi kedua pihak kami hormati, namun demikian ada upaya lain. Kami tidak dalam posisi memaksa mereka restrukturiasi itu kalau kami paksakan kami digugat,” jelas Hendrikus dalam acara diskusi daring Hukumonline, Kamis (20/5).

Dia menjelaskan restrukturisasi merupakan kegiatan bisnis yang sudah lumrah pada industri fintech. Menurutnya, dalam perjanjian pinjaman antara investor dengan peminjam sudah terdapat skema restrukturisasi tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait