Ramai-ramai Menolak Intimidasi Digital
Berita

Ramai-ramai Menolak Intimidasi Digital

Harusnya sengketa pemberitaan diselesaikan melalui Dewan Pers bukan lewat pengerahan buzzer.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Ancaman dan kekerasan terhadap wartawan dikecam sejumlah organisasi wartawan. Teranyar, intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh dialami wartawan Detik.com atas pemberitaan yang diterbitkan. Awalnya, Detikcom menurunkan berita tentang rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.

Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB. Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi. Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya. Jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya. Dia juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp. Serangan serupa ditujukan pada redaksi media Detikcom. 

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) yang menilai bahwa intimidasi tersebut mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Jika dinilai belum memuaskan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers untuk dicarikan solusi melalui mediasi, bukan lewat pengerahan buzzer. Setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan pada redaksi untuk memperoleh hak jawab dan koreksi.

Selain menyarankan sengketa pers ke mekanisme penyelesaian di Dewan Pers, AMSI juga meminta apparat penegak hukum mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber (perisakan online atau doxing) dan ancaman pembunuhan terhadap jurnalis hingga pelakunya diadili di pengadilan. (Baca: Beragam Pintu Masuk untuk Menjerat Pelaku Perundungan)

Desakan serupa juga diutarakan oleh Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta. Melalui siaran persnya, menurut Pasal 4 ayat (1) dan (3) UU Pers menjelaskan bahwa salah satu peranan pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Bagi yang menghambat atau menghalangi maupun penyensoran dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Menurut catatan AJI Jakarta, kasus kekerasan dalam bentuk doxing terhadap jurnalis bukan baru kali ini terjadi di Jakarta. Sebelumnya ada empat kasus jurnalis yang mengalami doxing terkait pemberitaan. Tiga kasus doxing terjadi pada tahun 2018. Di antaranya, jurnalis Detik.com didoxing karena berita tentang pernyataan juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid".

Lalu jurnalis Kumparan.com dipersekusi karena tidak menyematkan kata 'habib' di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya. Kemudian doxing terhadap jurnalis CNNIndonesia.com terkait berita berjudul "Amien: Tuhan Malu Tak Kabulkan Doa Ganti Presiden Jutaan Umat". Satu kasus terjadi pada September 2019 yang Febriana Firdaus, jurnalis yang melaporkan untuk Aljazeera. Febriana didoxing dan diteror karena pemberitaan terkait kerusuhan di Papua.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait