Potret Buram Gadai Saham
Kolom

Potret Buram Gadai Saham

​​​​​​​Kadang untuk meningkatkan kualitas gadai saham, banyak kreditur, lokal maupun asing, meminta debitur melakukan offshoring sahamnya.

Bacaan 2 Menit
Ahmad Fikri Assegaf. Foto: RES
Ahmad Fikri Assegaf. Foto: RES

Tingkat kepercayaan kreditur terhadap proses eksekusi jaminan di Indonesia sangat rendah. Hal ini tercermin dari jumlah lelang eksekusi (baik melalui izin pengadilan maupun parate) yang diperkirakan HANYA 6% dari total non performing loan (NPL) perbankan, yang pada Desember 2019 bernilai Rp141,8 triliun.

Total lelang eksekusi tersebut dapat diduga didominasi oleh eksekusi hak tanggungan. Sedangkan eksekusi gadai saham, berdasarkan diskusi saya dengan beberapa teman di industri perbankan, amat kecil. Bahkan ada bank cukup besar yang sudah lama tidak melakukan eksekusi gadai saham. Salah satu penyebabnya adalah aturan mengenai gadai dan proses eksekusinya yang hampir tidak ada kemajuan. Sejak kemerdekaan, tidak pernah ada perubahan aturan mengenai gadai saham.

Memang ada diskusi di tataran akademis dan praktik. Namun diskusi yang paling mengemuka hanya berkisar soal beda tafsir pasal-pasal mengenai eksekusi. Di antara pertanyaan yang muncul dalam diskusi tersebut adalah: (i) apakah penerima gadai boleh menjual saham di bawah tangan (private sale), jika dalam perjanjian pemberi gadai secara tegas telah menyetujuinya? (ii) Apakah persetujuan dalam perjanjian tersebut hanya akan berlaku setelah terjadinya wanprestasi? (iii) Jika persetujuan private sale di muka dalam perjanjian dilarang, maka persetujuan seperti apa yang diperlukan?

Saking asyik berdebat menginterpretasikan pasal-pasal, kita lupa bahwa aturan gadai ini sudah berumur 173 tahun! Mungkin karena itu kita lupa melontarkan ide baru dan segar untuk membuat saham sebagai barang jaminan dan gadainya lebih menarik dan dihargai.

Saat ini saham perseroan terbatas (PT) yang tidak tercatat pada Bursa Efek Indonesia (tertutup) tidak dianggap sebagai jaminan penting. Selain itu, kreditur seringkali hanya mensyaratkan saham sebagai jaminan tambahan, sekedar untuk mengingatkan debitur adanya risiko perusahaannya bisa hilang jika wanprestasi.

Kadang untuk meningkatkan kualitas gadai saham, banyak kreditur, lokal maupun asing, meminta debitur melakukan offshoring sahamnya. Artinya debitur harus memindahkan pemegang saham dari perusahaan di Indonesia kepada perusahaan luar negeri. Baru setelah itu kreditur tersebut mengambil gadai atas saham perusahaan di luar negeri berikut saham perusahaan anaknya di Indonesia.

Proses offshoring ini biasanya menimbulkan biaya tambahan yang cukup mahal bagi pengusaha. Offshoring bukan saja membutuhkan biaya atas jasa konsultan dalam pengalihan, namun juga pajak dan biaya pemeliharaan perusahaan di luar negeri.

Tags:

Berita Terkait