Normal Baru yang Abnormal
Tajuk

Normal Baru yang Abnormal

Normal baru akan menuntut kita untuk lebih produktif untuk bisa kompetitif, dan bukan lagi jadi makhluk konsumtif.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Di tengah Pandemi Covid-19, seluruh penduduk dunia yang terdampak menanyakan kapan kiranya pagebluk ini kiranya akan berakhir. Jawaban atas pertanyaan ini sungguh bervariasi, tergantung dari kepentingan siapa jawaban ini diberikan. Mereka bisa saja para ahli epidemi atau pandemi, penguasa, oposisi, politikus, ekonom, pengusaha, pendidik, masyarakat sipil, atau tokoh agama dan masyarakat. Bisa diduga, rentang jawaban akan sangat lebar, dan tidak ada jawaban yang sanggup memuaskan semua penanya.

Ketika semua carut marut dan debat, ilmiah atau kusir, kemudian terjadi mengenai semua jawaban-jawaban tadi, munculah istilah "normal baru" (the new normal), yang menjadi pokok bahasan kita sehari-hari, didebatkan secara luas oleh media, dan masuk dalam istilah dan peraturan baru dan keputusan politik penguasa. Badan Bahasa Kemendikbud mendefinisikannya sebagai "kenormalan baru", yang artinya suatu keadaan normal yang baru (suatu keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya).

Para baby boomers Indonesia tentu masih ingat orang tua atau generasi orang tua mereka kerap  menyebut-nyebut tentang "zaman normal", bahkan dengan nada sinis, karena kondisi mereka di zaman Orde Lama (Orla) atau Orde Baru (Orba) meyulitkan mereka, sering mereka mengatakan lebih baik hidup di zaman normal. Istilah zaman normal, dikaitkan dengan masa penjajahan kolonial Belanda di Tanah Air. Zaman di mana disiplin masyarakat tegak, ketertiban umum terjaga dan hukum tegas dilaksanakan dengan kepastian yang tinggi, pejabat tidak korup, gaji pegawai cukup, dan ekonomi stabil. Ini tentu dibandingkan dengan kondisi di zaman Orla dan Orba yang di banyak sisi menunjukkan keadaan sebaliknya. Tetapi nanti dulu, keluhan ini tentu datangnya dari golongan priyayi yang memang pada masa penjajahan Belanda menikmati kehidupan yang "normal" seperti itu. Tentu itu tidak terjadi pada golongan rakyat biasa yang tertindas dari segala segi kehidupan, di mana penguasa kolonial menerapkan sensor media yang ketat, pembatasan kegiatan politik, pembuangan pejuang kemerdekaan, diskriminasi di banyak bidang termasuk rasial (pembedaan golongan masyarakat pribumi, Eropa dan Timur Asing), pelayanan kesehatan dan pendidikan, hak-hak masyarakat pribumi, serta kegiatan perekonomian. Zaman normal buat priyayi bukan normalnya rakyat biasa.

Demikian juga, ketika banyak masalah terjadi setelah masa reformasi (1998), banyak veteran Orba dan pengikutnya memunculkan kalimat pendek: "enak zamanku tho?", yang mencoba mengatakan bahwa kondisi jaman di mana Suharto berkuasa adalah masa dengan kondisi lebih baik. Kalimat ini muncul di kampanye-kampanye politik pada pemilu, pilkada, perdebatan di media sosial, bahkan tampil menyolok pada bak belakang truk antar kota dengan gambar Suharto yang tersenyum ramah (yang buat banyak koban Orba mengerikan). Kondisi enak di sini tentu berlaku untuk para kroni, pengikut, pejabat sipil dan militer di sekitar Suharto, para pengusaha yang mendapat lisensi bisnis atau broker ekonomi besar, dan tentunya rakyat kecil yang dibodohi dengan slogan kecukupan sandang pangan. Negara di manapun di dunia dengan kekayaan alam dan sumber daya manusia seperti Indonesia kala itu, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 6%, walaupun dikorupsi, masih bisa mencukupi kebutuhan rakyatnya. Ini bukan "rocket science". Para ekonom Suharto dengan gelar-gelar doktor dari AS dan Eropa paham itu. Tentu zaman ini bukan zaman yang enak bagi lawan politik Suharto, mahasiswa, masyarakat sipil dan budayawan serta aktivis pro demokrasi yang menghendaki pembaharuan politik, hukum, dan ekonomi. Bukan bagi mereka yang menghendaki Indonesia yang bebas korupsi, pers yang bebas, dan bahkan bukan bagi golongan agama yang banyak mengalami kontrol dan pembatasan. Mereka dibungkam, dipenjarakan tanpa diadili, dibunuh secara perdata, dan banyak yang kehilangan nyawa. Mereka yang mengatakan zaman kolonial adalah zaman normal, dan zaman Suharto adalah zaman enak, kiranya telah dibutakan mata dan matahati-nya, dan cepat sekali merupakan sejarah, yang ditulis, maupun diceritakan oleh orang-orang tua kita.

Zaman normal di masa kolonial dan jaman Suharto yang dianggap normal adalah suatu perjalanan bangsa, di mana kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan sangat menonjol sebagai unsur penggeraknya. Zaman Normal Baru atau Kenormalan baru sekarang ini digerakkan oleh virus tidak kasat mata yang tidak punya kepentingan, yang menyerang tanpa ampun lebih dari 5 juta orang (saat ini) di seluruh pelosok bumi. Zaman kolonial dan zaman Orba-nya Suharto membuat kita bangsa Indonesia menderita. Coronavirus-19 menyebabkan seluruh penduduk dunia menderita. Dari penderitaan kolektif ini, muncul suatu sikap perlawanan dan gerakan baru di tingkat pemutus kebijakan maupun gerakan masyarakat untuk menata suatu kehidupan baru di tengah masih merebaknya pandemi, dan bagaimana kita semua menghadapi masa depan.

Sebagian negara atau wilayah masih dengan ketat menata kehidupan untuk mencapai kurva datar dengan melakukan lockdown, semi-lockdown atau karantina wilayah atau pembatasan sosial skala besar atau kecil, dengan berbagai nama berbeda. Sebagian lainnya mulai melakukan kebijakan pelonggaran dengan memberikan kebebasan terbatas kepada sejumlah kegiatan pemerintahan, swasta dan kemasyarakatan. Sebagian  lainnya, tanpa basis ilmiah, menganggap bahwa semua pembatasan merupakan pengekangan kebebasan, dan mulai melakukan kegiatan mereka, seakan mereka masih berada dimasa sebelum pandemi, dan dengan demikian melanjutkan kurva penularan dan kematian yang meninggi. Sebagian negara, wilayah, kembali ke kebijakan pembatasan setelah pelonggaran menunjukkan bahaya baru, the second atau third wave.

Apapun keputusan politik penguasa tersebut tentu akan membawa konsekuensi yang harus dipikul oleh seluruh lapisan masyarakatnya. Setiap keputusan, apakah sifatnya ketat, setengah ketat, agak longgar atau bebas, akan membawa dampak yang tidak pernah kita pikirkan ini bisa terjadi. Ini akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya jumlah mereka terpapar dan tentunya tingkat kematian, kebijakan stimulus ekonomi dan subsidi kepada yang terdampak, anggaran belanja negara, perubahan program pembangunan dan kebijakan ekonomi, kondisi perbankan dan lembaga keuangan non-bank, kondisi mati hidupnya sektor swasta terutama usaha mikro, kecil dan menengah, karyawan yang di PHK atau dirumahkan sementara, sistem kesehatan yang kewalahan termasuk kemampuan rumah sakit dan tenaga medis yang rasionya sangat kecil dibanding dengan jumlah yang harus dilayani, debitur gagal bayar, proyek-proyek tertunda, pengangguran meningkat, ketahanan pangan dan distribusi barang yang terganggu, produksi dan harga komoditas yang bergejolak, sistem transportasi yang menjadi semakin mahal karena perlakukan khusus, pendidikan yang terdisrupsi, hubungan sosial antar anggota masyarakat, hubungan keluarga dan pertemanan serta banyak lainnya yang terganggu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait