Putusan Pembatasan Internet di Papua Harus Jadi Pedoman bagi Pemerintah
Berita

Putusan Pembatasan Internet di Papua Harus Jadi Pedoman bagi Pemerintah

Menkominfo Johnny G Plate akan berkoordinasi dengan Jaksa Pengacara Negara terkait putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES

Majelis Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap tindakan pemerintah melakukan pelambatan dan pemutusan akses internet di Papua yang dilakukan pada medio Agustus 2019 lalu. Dalam putusannya, Majelis menyimpulkan pembatasan akses internet di Papua merupakan perbuatan melawan hukum.  

Dalam putusan bernomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT yang dibacakan 3 Juni 2020, Majelis yang terdiri dari Nelvy Christin (Ketua), Baiq Yuliani (anggota I), dan Indah Mayasari (anggota II) menyatakan tindakan pemerintah melakukan pelambatan akses internet di provinsi Papua Barat dan Papua pada 19 Agustus 2019; pemblokiran dan pemutusan akses internet 21 Agustus-4 September 2019; dan memperpanjang pemblokiran dan pemutusan akses internet di beberapa kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat sejak 4-9 September 2019 dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum.

Dalam pertimbangannya, Majelis menilai Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB; Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; Pasal 73 UU HAM; dan Pasal 19 ayat (3) Kovenan Sipol serta berbagai penafsiran Pasal 19 Sipol dalam beberapa instrumen seperti: i) Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, ii) The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information dan iii) The Camden Principles on Freedom of Expression and Equality, serta Komentar Umum (General Comment) No.34 tentang Pasal 19 Kovenan Sipol memberikan pedoman mengenai pembatasan kebebasan berekspresi dan hak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi dan hak-hak lainnya termasuk yang digunakan melalui internet.

Pemerintah berdalih pembatasan dan pemutusan akses internet itu dilakukan dalam rangka menangani hoax. Majelis berkesimpulan ruang lingkup/cakupan kewenangan pemerintah melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses sebagaimana dimaksud Pasal 40 ayat (2b) UU Nomor 19 Tahun 2016 adalah sama yaitu pemutusan akses hanya terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses terhadap jaringan internet.

Mengacu duplik yang disampaikan tergugat I, objek sengketa ini dilakukan dengan dalih kewenangan tergugat I untuk melakukan diskresi, mengisi kekosongan hukum sebagaimana diatur Pasal 22 dan pasal 23 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Kekosongan hukum yang dimaksud yakni belum ada Standard Operasional Prosedur (SOP) untuk melakukan pemutusan akses internet. (Baca Juga: Pembatasan Akses Internet di Papua Berujung Gugatan)

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan (2) huruf e UU Administrasi Pemerintahan, pejabat pemerintahan memiliki hak menggunakan kewenangan mengambil keputusan dan/atau tindakan diantaranya menggunakan diskresi sesuai tujuannya. Majelis mengutip Pasal 22 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk: a.melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b.mengisi kekosongan hukum; c.memberikan kepastian hukum; dan d.mengatasi stagnansi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

“Keempat tujuan diskresi ini menurut majelis bersifat kumulatif, bukan alternatif,” demikian pendapat Majelis dalam putusannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait