Pemerintah Diminta Bangun Perumahan Buruh Terintegrasi
Berita

Pemerintah Diminta Bangun Perumahan Buruh Terintegrasi

Konstitusi mengamanatkan tempat tinggal sebagai hak, sehingga menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Kebijakan Tapera dinilai tidak tepat untuk buruh.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perumahan (HOL)
Ilustrasi perumahan (HOL)

Terbitnya PP Peraturan Pemerintah (PP) No.25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mendapat sorotan banyak pihak terutama kalangan buruh. Melalui kebijakan itu pemerintah dinilai tidak peduli terhadap nasib masyarakat yang terdampak Coronavirus disease (Covid-19). Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah, program Tapera akan memotong upah buruh sebesar 2,5 persen untuk tabungan perumahan.

Menurut Ilhamsyah sedikitnya ada 3 hal yang membuat program Tapera ini tidak tepat untuk buruh. Pertama, pemenuhan kebutuhan dasar adalah kewajiban negara salah satunya perumahan. Tapera dinilai sebagai bentuk lepas tangan pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Misalnya di sektor kesehatan, dimana pemerintah harus menjamin pemenuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Tapi melalui program JKN yang digelar BPJS Kesehatan, pelayanan kesehatan itu baru dijamin jika masyarakat menjadi peserta JKN dan membayar iuran. Hal serupa juga terjadi dalam program Tapera, bahkan tidak semua peserta bisa mendapat manfaat Tapera berupa pembiayaan perumahan.

Bagi Ilhamsyah program Tapaera tidak sejalan dengan pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. “Konstitusi jelas menyebut tempat tinggal sebagai 'hak', bukan penyebutan-penyebutan yang lain. Hak tentu saja tidak bisa diputar menjadi kewajiban bayar, seperti yang dimau Tapera,” katanya ketika dikonfirmasi, Sabtu (6/6).

(Baca juga: ‘Jenis Kelamin’ Badan Hukum Tapera Tidak Jelas).

Tapera merupakan program yang menarik dana publik. Menurut Ilhasmyah peran pemerintah dalam program ini hanya sebagai tukang pungut uang rakyat. Kewajiban pemerintah memenuhi hak atas perumahan justru dibebankan kepada kalangan buruh karena buruh wajib sebagai peserta Tapera. Dana publik sebagai sumber pendanaan Tapera, tapi publik tidak memiliki saham atau otoritas terhadap BP Tapera.

Kedua, pungutan sebesar 2,5 persen dari upah menurut Ilhamsyah memukul daya beli buruh. Selama ini upah buruh telah tergerus lewat ketentuan yang diatur dalam PP No.78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Terbitnya PP No.25 Tahun 2020 di masa pandemi Covid-19 menunjukan pemerintah tidak peduli terhadap masyarakat yang terdampak Covid-19 termasuk kalangan buruh. Pemerintah harusnya membantu mengurangi beban rakyat menghadapi dampak Covid-19 ketimbang menarik pungutan lewat program Tapera.

Ketiga, Ilhamsyah menegaskan organisasinya menolak Tapera karena buruknya tata kelola dana publik oleh badan yang ditunjuk UU. Misalnya, Mei 2020 lalu Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran JKN melalui putusan bernomor 7 P/HUM/2020. Salah satu pertimbangan putusan itu pada intinya menyebut pemerintah belum mampu membenahi kinerja badan yang mengelola dana publik. Praktik ini berpotensi berulang dalam penyelenggaraan Tapera.

Ketimbang memungut uang rakyat lewat Tapera, Ilhamsyah mengusulkan pemerintah melakukan dua hal. Pertama, peran utama pemerintah yakni memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Segala sumber daya yang dimiliki pemerintah harus digunakan untuk mewujudkan hal tersebut.

Tags:

Berita Terkait